Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat, Humas Polda Sulawesi Tengah, Kompol Sugeng Lestari, Jumat (17/3) siang, menjelaskan kepada VOA bahwa kelima terduga teroris yang ditangkap itu terlibat dalam kelompok jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Empat orang ditangkap di Kota Palu, dan satu orang ditangkap di Kabupaten Sigi.
“Dari Densus 88 juga telah mengamankan beberapa barang bukti, antara lain 13 buku berbagai macam jenis. Kemudian, satu bundel dokumen terkait dengan suatu yayasan. Kemudian, ada panah, ada senapan angin dan lain-lain,” kata Kompol Sugeng Lestari saat dihubungi dari Poso.
Terduga teroris yang diamankan berinisial AF (41), KB (52), MA (42), ZA (42) dan RA (46). Densus 88 masih melakukan pemeriksaan terhadap kelima orang itu.
“Sementara didalami keterlibatan dia. Siapa dan lain-lain itu masih didalami oleh Densus,” terang Sugeng Lestari.
Terkait penangkapan itu, Sugeng mengimbau masyarakat di Kota Palu dan Sigi untuk tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa.
Ungkap Detil Keterlibatan Terduga Teroris
Direktur Celebes Institute di Palu, Adriany Badrah menilai kepolisian perlu menginformasikan ke publik secara detail mengenai keterlibatan kelima orang yang ditangkap tersebut dalam dugaan kasus terorisme.
“Ketika hal itu tidak juga dipublikasikan secara transparan dan detail ke publik, itu akan menimbulkan riak-riak. Jadi pemantik nantinya karena ada rasa kekecewaan. Kan sudah muncul narasi-narasi seperti itu,” kata Adriany.
Menurutnya, penumpasan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) oleh aparat keamanan pada 2022 dan berlanjutnya operasi Madago Raya pada 2023 mampu mencegah sel-sel tidur jaringan teroris di Kabupaten Poso, Parigi Moutong dan Sigi, agar tidak bangkit.
Namun, sel-sel teroris itu tampaknya mengalihkan kegiatan ke Kota Palu yang lebih homogen dan lebih kompleks dinamika sosial-ekonominya.
“Jadi ruang itu lebih lowong. Nah, ini sekali lagi, mengapa intelijen kalau bekerja secara maksimal dan dikuatkan juga oleh infrastrukturnya, ini kan sejak dulu seharusnya dituntas habis. Tidak sepotong-sepotong begini maksudnya karena ini menimbulkan ketidakpercayaan soal penanganan ini,” kata Adriany.
Adriany menambahkan perlu program deradikalisasi yang inklusif untuk memutus mata rantai paham radikalisme yang mengarah kepada aksi kekerasan dan terorisme. Program-program tersebut tidak hanya fokus pada pemberdayaan mantan narapidana terorisme, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar. [yl/ft]
Forum