Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Ahmad Ramadhan, Selasa (17/5) ,mengatakan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror telah menangkap 24 tersangka teroris terkait kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso. Sebagian besar tersangka ditangkap di wilayah Sulawesi Tengah pada Sabtu (14/5) pekan lalu.
“Dengan rincian 22 tersangka ditangkap di Sulawesi Tengah, kemudian satu tersangka –ditangkap- di Bekasi dan satu tersangka dari Kalimantan Timur,” kata Brigjend Polisi Ahmad Ramadhan dalam konferensi Pers melalui kanal YouTube DIV Humas Polri.
Menurut Ramadhan, ke 24 orang tersangka teroris pernah beberapa kali mengikuti kegiatan idat atau pelatihan di wilayah Ampana, Kabupaten Tojo Una-una, dan baiat kepada kelompok ISIS. Baiat atau janji sumpah kepada ISIS dilakukan secara mandiri dengan membacakan teks pernyataan yang dikirim melalui Group Whatsapp.
“Jadi beberapa orang ini telah melakukan baiat kepada pemimpin kelompok ISIS yang baru yaitu Abu Hasan al-Hashemi al-Qurashi, kemudian memberikan dukungan kepada kelompok MIT Poso yang berupa berencana bergabung bersama kelompok MIT, kemudian membantu penyiapan logistik termasuk logistik amunisi dan menyembunyikan informasi terkait dengan kegiatan MIT Poso itu sendiri,” papar Brigjen Ramadhan.
Ditambahkannya dari penggeledahan pasca penangkapan, Densus 88 menemukan sejumlah barang bukti, termasuk 8 pucuk senapan PCP (senapan angin) beserta peredam dan penyangga, satu pucuk senapan PCP merah hitam, satu pucuk senjata api revolver, dua buah magasin M-16, 244 butir amunisi kaliber 5,56 milimeter, 10 butir amunisi kaliber 38 spesial, dan 26 unit telepon genggam.
Program Deradikalisasi Dinilai Tidak Efektif
Direktur "Celebes Institute", Adriani Badra, kepada VOA mengatakan penangkapan terhadap sejumlah orang di Poso yang diduga menyuplai logistik dan berencana bergabung dengan MIT menunjukkan program deradikalisasi yang beriringan dengan sejumlah operasi keamanan di Poso tidak efektif.
“Program intervensi Densus dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang berkaitan dengan program deradikalisasi ini juga mesti dilihat program ini bukan tidak efektif tapi gagal,” kata Adriani.
Menurut Adriani, program deradikalisasi yang dilakukan selama ini lebih berorientasi kepada mantan narapidana terorisme (napiter) namun tidak menyentuh mereka yang merupakan keluarga, teman dari napiter itu yang pernah terpapar paham radikalisme MIT.
“Tugas yang berat yang perlu dipikirkan dan perlu energi besar dan bukan cuma dilakukan oleh aparat keamanan, Densus dan BNPT tetapi juga oleh pemerintah adalah mereka yang juga ada di bawah, yang pernah terpapar, yang potensi terpapar,” kata Adriani.
Adriani Badra menekankan untuk mencegah pengaruh MIT sangat diperlukan program-program pemerintah dari tingkat pusat hingga desa yang dapat menjawab permasalahan ekonomi sosial melalui penyediaan lapangan kerja. Program-program itu, katanya, memberi akses ke pendidikan dan kesehatan yang terjangkau dan tanpa diskriminasi bagi keluarga mantan napiter. [yl/ab]