Berbicara pada Debat Terbuka Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan di markas besar PBB di New York pada Kamis (20/10), Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed mengatakan “meskipun dalam beberapa dekade terakhir terdapat bukti bahwa kesetaraan gender berhasil menunjukkan jalan menuju perdamaian berkelanjutan dan pencegahan konflik, kita bergerak ke arah berlawanan.”
Ia menambahkan, “kita tidak dapat memisahkan kondisi perdamaian yang rentan dengan dampak patriarki dan pembungkaman suara perempuan yang menghancurkan.”
Menurut Amina, tantangan yang dihadapi saat ini, berkisar mulai dari meluasnya konflik hingga memburuknya serangan terhadap HAM, yang dalam banyak hal berkaitan dengan masih adanya “tekanan dan kebencian terhadap perempuan yang mendarah daging di seluruh dunia.”
Kemajuan Partisipasi Perempuan Lambat
Amina dengan gamblang memaparkan bagaimana selama 20 tahun terakhir ini, kemajuan dalam partisipasi perempuan di semua tingkatan – dari komunitas lokal hingga parlemen nasional – berjalan lambat. Antara tahun 1995-2019, persentase kesepakatan damai yang mencakup ketentuan tentang kesetaraan gender meningkat dari 14 menjadi 22 persen. Empat dari lima perjanjian perdamaian masih mengabaikan kesetaraan gender dan masih terdapat kesenjangan di tingkat pengambilan keputusan.
Dalam periode yang sama, hanya 13 persen perunding, 6 persen mediator dan 6 persen penandatangan utama dalam proses perdamaian adalah perempuan. Tujuh dari setiap sepuluh proses perdamaian tidak melibatkan mediator atau penandatangan perempuan.
Amina menjelaskan agenda-agenda perempuan, perdamaian dan keamanan adalah kesempatan melakukan hal-hal yang berbeda dan mencapai kesetaraan gender secara penuh; termasuk lewat kuota khusus guna mempercepat inklusi perempuan di seluruh tempat pemantauan pemilu, reformasi sektor keamanan, perlucutan senjata, demobilisasi, dan sistem peradilan.
Amina menyimpulkan “saat bahaya, konflik, dan krisis (yang terjadi saat) ini, kita harus menjalakan strategi yang terbukti berhasil untuk mencapai perdamaian dan stabilitas. Melindungi hak-hak perempuan dan mempromosikan inklusi perempuan adalah strategi semacam itu. Hari ini mari kita berkomitmen kembali untuk menempatkan partisipasi perempuan sebagai pusat dari apapun yang kita lakukan, di mana saja.”
UN Women: Perempuan dan Anak Perempuan Bayar Harga Paling Mahal
Sementara itu Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous mengatakan meningkatnya ancaman terhadap keamanan telah ikut memundurkan hak-hak perempuan yang dicapai lewat kerja keras selama puluhan tahun.
Perempuan dan anak perempuan membayar harga sangat mahal dari terjadinya aksi kekerasan, perpindahan orang, pandemi global dan meningkatnya darurat iklim.
“Di seluruh dunia, dari Iran hingga ke Tigray, Ukraina dan lainnya, para pembela hak-hak perempuan mempertaruhkan nyawa mereka setiap hari demi perdamaian dan HAM, demi komunitas mereka dan planet ini. Hal ini seharusnya disambut baik semua orang. Sayangnya, mereka justru kerap diancma,” ujar Bahous.
Kantor Komisioner Tinggi PBB baru-baru ini melaporkan 60 persen dari hampir 250 kasus individu tentang intimidasi dan tindakan balasan karena bekerjasama dengan PBB tahun lalu melibatkan perempuan. Menolak memberikan ruang, akses atau pendanaan karena alasan keamanan justru memperkuat perilaku – dan di mata mereka – membenarkan taktik yang diambil.
Utusan Khusus Uni Afrika untuk Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, Bineta Diop mengatakan “Tiga C – crisis COVID-19, climate change, conflict; atau krisis COVID-19, perubahan iklim dan konflik, telah memperburuk tatanan politik, sosial dan ekonomi di mana perempuan dan anak perempuan berkembang, sehingga mendesak kami untuk melakukan inovasi guna memperkuat ketahanan dan kepemimpinan perempuan.”
Pertemuan itu menjadi kesempatan bagi semua negara anggota untuk berbagi contoh spesifik tentang bagaimana mereka mendukung ketahanan perempuan di negara-negara yang terdampak konflik, dan kapasitas mereka untuk berkontribusi pada perdamaian dan keamanan. [em/jm]
Forum