Presiden Trump disambut hangat oleh Raja Salman yang menganugerahinya dengan medali Abdulaziz Al Saud, penghargaan tertinggi di Arab Saudi, negara pertama yang dikunjungi Presiden Trump sejak menjabat.
Semasa kampanye, retorika Donald Trump dinilai memicu sentimen Islamophobia, termasuk saat ia menyerukan larangan Muslim masuk Amerika pada Desember 2015 dan menyatakan bahwa Islam membenci Amerika dalam wawancara Maret 2016. Saat inipun larangan masuknya pendatang dari enam negara mayoritas Muslim, terus diperjuangkan pemerintahan Trump di pengadilan AS yang menilainya melanggar konstitusi AS karena diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu. Namun dalam pidatonya di Riyadh, Presiden Trump berupaya merangkul para kepala negara dan perwakilan dari 50 negara Muslim yang hadir di konferensi ini.
"Saya mewakili rakyat Amerika, menyampaikan pesan persahabatan dan harapan. Ini alasan saya memilih mengunjungi (Arab Saudi sebagai) pusat dunia Muslim, yang menjadi rumah bagi dua tempat tersuci dalam agama Islam," ujar Presiden Trump dalam pidatonya.
Presiden Trump menekankan pentingnya bekerjasama melawan terorisme yang menurutnya juga merupakan musuh Islam. Ia menyerukan para pemimpin negara Muslim untuk "memburu (teroris) keluar dari tempat ibadah Anda, keluar dari masyarakat Anda, keluar dari tanah suci Anda dan keluar dari bumi ini."
Seperti pendahulunya Presiden Obama, Presiden Trump menegaskan tidak sedang berperang melawan Islam. "Ini bukan pertempuran antara agama yang berbeda, sekte yang berbeda atau peradaban yang berbeda," kata PresidenTrump. "Ini adalah pertempuran antara penjahat barbar yang berusaha untuk melenyapkan kehidupan manusia dan orang-orang baik, semua atas nama agama. Semua orang ingin melindungi kehidupan dan ingin melindungi agamanya. Ini adalah pertempuran antara yang baik dan yang jahat."
Pengamat menilai kunjungan Trump ini mempererat hubungan dengan Arab Saudi dan sekutu negara teluk lain yang mendingin di bawah pemerintahan sebelumnya. Saat itu Arab Saudi gerah dengan politik luar negeri pemerintahan Obama yang menekankan penegakan HAM dan demokrasi, serta sikap Presiden Obama yang dipandang lunak menghadapi Iran, termasuk dengan ditanda-tanganinya kesepakatan nuklir Tehran dengan Barat. Presiden Obama juga dipandang terlalu hati-hati dalam menghadapi Presiden Bashar Al-Assad sehingga membiarkan konflik berlarut di Suriah. Iran dan Suriah merupakan merupakan kekuatan Syiah dan musuh Saudi di kawasan.
Simon Henderson dari Washington Institute for Near East Policy mengatakan, "Arab Saudi senang sekali dengan kunjungan ini. Mereka sangat tergantung pada hubungan keamanan yang kuat dengan AS. Mereka sangat kecewa dengan mantan Presiden AS Barack Obama yang menurut mereka lebih condong kepada Iran daripada Arab Saudi."
Dalam kunjungan ini, Presiden Trump juga menandatangani perjanjian jual beli senjata senilai 110 miliar dolar dengan pemerintah Saudi. Baik AS maupun Saudi menegaskan perjanjian senjata yang dinegosiasi oleh menantu Presiden Trump Jared Kushner ini ditujukan untuk membendung pemerintahan Hassan Rouhani, yang pada hari yang sama terpilih kembali sebagai presiden Iran untuk masa jabatan kedua.
Dari Riyadh Presiden Trump menuju Israel, sekutu terbesar Amerika Serikat di Timur Tengah. Lawatan ini berlangsung di tengah tekanan politik dalam negeri, di mana Presiden Trump dikritik karena memecat direktur badan penyelidik federal FBI James Comey. Comey tengah menyelidiki potensi kolusi tim sukses Trump dengan Rusia yang oleh lembaga intelijen AS disimpulkan mencampuri pilpres AS guna memenangkan Presiden Trump.