Kota Bandung, Jawa Barat, dikenal sebagai tujuan wisata dengan lokasi-lokasi fotogenik. Namun pembangunan kota ini rupanya tidak lepas dari masalah lahan. Sebagian warga di Tamansari, salah satu kawasan yang jadi ikon kota Bandung, kini menghadapi tekanan penggusuran dari pemerintah kota. Wartawan VOA Rio Tuasikal menemui sejumlah warga yang sedang melakukan upaya hukum untuk bertahan.
Enjo lahir dan besar di RW 11 Tamansari, Bandung. Laki-laki yang telah menikah dan punya dua anak ini bertahan hidup dengan membuka indekos. Namun belasan kamar yang dia sewakan kini kosong tak berpenghuni.
"Udah merasa dirugikan 'kan. Kerugian-kerugian ini yang sebenarnya tidak bisa digantikan dengan nominal (uang)," jelasnya kepada VOA saat ditemui di RW 11.
Mata pencahariannya berangsur hilang sejak 2017 ketika pemerintah Kota Bandung berencana membangun rumah deret di Tamansari. Awalnya Enjo terbuka dengan ide rumah deret, namun ia kini menolaknya karena tidak merasa dilibatkan sejak awal. Kawasan itu pun kini jadi sengketa.
Koordinator warga, Eva Eryani Effendi, menyatakan warga merasa ditekan oleh pemerintah. "Kami tuh ditodong harus menerima program mereka. Lah yang di situ kan rumah-rumah kami. Harusnya ada kesepakatan dulu lah," tegasnya yang juga punya usaha indekos dan kehilangan penghuni.
Kawasan Tamansari yang diapit lima kampus besar, termasuk ITB dan Universitas Islam Bandung (Unisba), serta menghubungkan kawasan wisata Cihampelas dan Dago, telah sejak lama menjadi sasaran pembangunan. Mulai dari jembatan layang Pasupati, pusat perbelanjaan, hotel, sampai taman-taman kota.
Dalam peta Badan Pertanahan Nasional (BPN), RW 11 Tamansari belum terdaftar dan memiliki sertifikat. Warga yang bertahan mengklaim memiliki sebagian persil dari tahun 1963. Warga sempat ingin mengurus sertifikasi lewat Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) BPN namun upaya itu menemui hambatan, meskipun warga tidak merinci hambatan yang dimaksud. Sementara Pemkot Bandung mengklaim punya catatan pembelian sejak 1920, meskipun baru memulai sertifikasi lahan pada tahun 2017.
"Terbukti kami bayar PBB terus mereka (Pemkot) yang sertifikat di tahun 2017. Eh kumaha ceunah? (Itu bagaimana sih?) Itu mah perampasan lahan. Kita yang disuruh bayarin (PBB), mereka yang tinggal ambil suratnya. Meni ngeunah (Enak banget)," pungkasnya.
Bandung mendapat bantuan dana investasi (BDI) 53,7 miliar rupiah dari pemerintah pusat lewat program "Kotaku" atau Kota Tanpa Kumuh. Ketika memulai program ini pada tahun 2016, Pemkot Bandung menyatakan kawasan kumuh mencapai 1.457 hekatre, dan menargetkan nol persen wilayah kumuh selambat-lambatnya pada tahun 2019.
Wali Kota Bandung saat itu, Ridwan Kamil, mengklaim sudah menawarkan solusi terbaik.
"(Warga) akan kembali lagi ke (lokasi) situ. Kedua, karena akan dibangun kan nggak mungkin tidak pindah dulu. Apakah tidak diberi solusi? Diberi solusi (yakni) bangunannya diganti sekian persen, selama pindah kontrakkannya dibayar. Kurang baik apa kan?" ujarnya kepada wartawan.
Sebagian warga memang memilih ganti rugi itu. Dari 90 rumah di RW 11 Tamansari, ada 25 rumah sepakat menerima ganti rugi 20 persen dari Nilai Jual Obyek Pajak atau NJOP. Tidak lama kemudian 50-an rumah menyusul sepakat menerima ganti rugi hingga 75 persen NJOP. Kini tersisa 16 rumah yang bertahan seraya mengajukan gugatan hukum.
Bersama LBH Bandung, warga mengajukan dua gugatan berbeda. Pertama, warga melaporkan pemkot dengan UU Lingkungan Hidup karena diduga mengebor lahan warga tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Kedua, warga menggugat surat keputusan kompensasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena merasa tidak dilibatkan. Gugatan ini kini masuk tahap banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
Pendamping warga dari LBH Bandung, Riefki Zulfikar, mengatakan hak-hak warga banyak yang dilanggar.
"Jangan sampai ada program pembangunan seperti ini yang memang dari awal sudah sangat menyudutkan warga. Hak-hak warga dipotong partisipasinya. Sehingga berdampak panjang ke sosial hak atas rama aman dan ekonomi yang dilemahkan. Itu pun juga perlu kita tegaskan," ujarnya.
Di tengah ketidakjelasan status tanah, pemkot Bandung menerbitkan SP 1, 2, dan 3 kepada warga yang bertahan. Pada Agustus, Pemkot telah menerjunkan puluhan personel Satpol PP, polisi, juga TNI, yang langsung dihadang warga.
Pendamping warga meminta aparat menghentikan intimidasi kepada warga sementara proses hukum berjalan.
"Sangat disayangkan, apalagi kita sangat mengutuk keras kekerasan aparat dan negara. Apalagi keseluruhan rangkaian pembangunan ini mengarah pada intimidasi di mana hak-hak warga sudah banyak dilanggar," tegasnya.
Warga juga telah mengadu ke Ombudsman perwakilan Jawa Barat dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dua lembaga ini meminta baik warga dan pemkot menahan diri sampai ada putusan pengadilan.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, yang telah bertemu langsung warga Tamansari, meminta tidak ada provokasi dari kedua belah pihak.
"Masing-masing pihak itu menghormati proses mediasi yang sedang berlangsung dan juga proses hukum. Artinya tidak ada tindakan apapun yang mengarah pada provokasi, ancaman, atau juga tindakan yang lain," jealsnya saat dihubungi VOA.
Kini, sudah lima belas bulan masalah ini berjalan. Sementara warga seperti Budi Rahayu hanya bisa bertahan di tengah proses hukum yang tengah diupayakan. Kalau pun warga harus pindah, dia berharap pemkot mengganti propertinya dengan layak.
"Saya pengen penggantian yang layak saja. Kalau memang pemerintah keukeuh membangun di sini. Buat kami ini, kalau nanti PT TUN sudah beres, ya kami minta penggantian yang layak," ujar Budi yang memiliki dua anak ini. [rt/em]