Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan di depan Gedung DPR RI, Senin (20/1).
Dalam siaran pers yang diterima oleh VOA, Presiden KSPI, Said Iqbal menyatakan, Omnibus Law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja, namun cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja.
Adapun enam alasan KSPI menolak Omnibus Law adalah pertama menghilangkan upah minimum dengan keinginan pemerintah untuk menerapkan sistem upah per jam.
Jika pekerja bekerja kurang dari 40 jam seminggu, upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Padahal, dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Pengusaha yang membayar di bawah upah minimum bisa dipidana.
“Sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum, karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," ujar Said Iqbal.
Kedua, mengurangi nilai pesangon. Said mengatakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menggunakan istilah baru dalam Omnibus Law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai enam bulan upah.
Terkait hal ini, KSPI mengatakan, UU No 13 Tahun 2003 sudah mengatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh ter-PHK, yang besarnya maksimal sembilan bulan upah, dan bisa dikalikan dua untuk kesepakatan PHK tertentu. Selain itu, ada pula penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan penghargaan masa kerja.
"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya enam bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan minimal 16 bulan upah hingga maksimal 33,3 bulan upah bila mendapatkan dua kalinya," jelasnya.
Ketiga, kata Said, fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing bebas tanpa batas dan buruh kontrak diperluas.
Dalam Omnibus Law dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja, yang menurut KSPI adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi.
"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada lima jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsourcing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, pesangon dihapuskan, dan juga buruh dapat dikontrak dalam jangka waktu yg panjang sekali tanpa kejelasan statusnya," paparnya.
Lalu, keempat, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi tenaga kerja asing (TKA) tanpa keterampilan khusus (unskilled workers), jelas Said
Dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.
Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya tiga sampai lima tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job, dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan TKA tadi.
Dalam Omnibus Law ada wacana semua persyaratan tadi dihapus sehingga TKA bisa sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia, hal yang mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia, karena pekerjaan yang mestinya bisa ditempati oleh orang lokal diisi oleh TKA.
Kelima, jaminan sosial terancam hilang. Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
Menurut KSPI, hal ini akibat dari sistem kerja yang fleksibel tadi. Padahal, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
"Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya di bawah upah minimum?" kata Said.
Poin keenam adalah menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Dalam Omnibus Law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, bisa dipenjarakan selama satu hingga empat tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah daripada upah minimum. “Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak diberikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” jelas Said.
Sementara itu, Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono kepada VOA mengatakan RUU tersebut lebih berpihak kepada para pengusaha, karena dalam proses pembuatan RUU ini, kaum buruh sama sekali tidak dilibatkan.
"Terkait RUU ini kita mengkritisi sebuah hal. Pertama mengenai proses pembuatannya, yang sama sekali tidak melibatkan kaum buruh karena pemerintah membuat satgas omnibus law ini dengan ketua satgasnya adalah ketua Kadin, sekretaris satgasnya adalah ketua Apindo, dan 22 asosiasi pengusaha ada di sana, tapi sama sekali tidak ada buruh. Sehinggga dalam prosesnya kami anggap karena tidak ada representatif dari buruh ya, pasti rasa UU ini adalah rasa pengusaha," ujar Kahar.
Ketika melakukan demo pada hari ini, pihak KSPI diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Dalam pertemuan tersebut, menurutnya DPR bersedia mengawal proses pembuatan RUU ini agar tidak merugikan kaum buruh.
Selain itu, juga diwacanakan untuk membentuk tim kecil beranggotakan buruh dan DPR untuk mengkritisi ketika nanti draft UU nya sudah masuk ke DPR.
Pihaknya menegaskan, jika memang nantinya substansi dari UU tersebut masih sama, kaum buruh tetap akan menolak dan akan ada aksi demonstrasi lanjutan.
"Harapannya, pertama kita setuju dengan adanya investasi, kita mendukung program pemerintah untuk menarik investasi. Tetapi yang kita tidak setuju, ketika investasi itu masuk dengan mengorbankan kaum buruh terutama mendegrade pasal-pasal yang selama ini dianggap menguntungkan buruh," papar Kahar.
Moeldoko: Buruh Salah Paham terhadap UU Omnibus Law
Sementara itu, ditemui di kantornya, Kepala Staff Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyatakan bahwa kaum buruh salah kaprah terkait RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini.
Menurutnya, kesalahpahaman ini terjadi karena kaum buruh belum diajak bicara banyak terkait substansi RUU tersebut.
Ia menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo sangat mendengarkan aspirasi dari seluruh pihak terkait RUU yang dibuat pemerintah ini untuk memuluskan investasi di Tanah Air. Oleh karena itu, pihaknya dalam waktu dekat akan bertemu dengan berbagai pihak untuk mencari solusinya.
"Saya juga saya sampaikan kita ingin mencari titik keseimbangan baru yang pas yang bisa baik untuk teman-teman para pekerja juga baik untuk pengusaha, mencari titik keseimbangan. Ini tentu melalui upaya bersama, tidak bisa satu pihak, tapi kedua belah pihak harus memiliki pesawat yang sama. Intinya bahwa Omnibus Law ini dibangun untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, dan juga menata kembali perpajakan, sehingga nanti Omnibus Law sungguh-sungguh bisa menjadi sesuatu yang lebih memberikan kepastian, lebih memberikan kenyamanan, lebih bisa diterima oleh semua pihak," jelas Moelkodo.
Terkait anggapan buruh bahwa RUU ini akan merugikan, Moeldoko menegaskan bahwa telah terjadi kesalahpahaman karena kaum buruh belum mengerti substansi UU baru ini.
"Saya pikir ini substansinya kan belum terdistribusi kepada teman-teman. Seperti kemarin waktu kita ketemu, teman-teman juga merasakan, mana ini substansinya. Kami juga belum menemukan, belum mendapatkan. Yang justru beredar adalah substansi yang banyak yang tidak sebenarnya, seperti cuti hamil katanya dihilangkan, padahal menurut Pak Airlangga kan tidak. Maka yang lebih penting lagi adalah nanti ada pertemuan yang mengakomodir semua pihak, saling mendengarkan dan seterusnya. Terus berikutnya, substansinya segera bisa didapatkan oleh teman-teman semuanya, agar tidak simpang siur beritanya, karena kesimpangsiuran inilah yang membuat sementara ini pada demo," jelasnya. [gi/uh]