Aksi unjuk rasa Women’s March hari Sabtu dilakukan di berbagai kota di AS dan diikuti oleh perempuan, maupun laki-laki, dari berbagai latar belakang.
Niken Astari, seorang diaspora Indonesia, mengikuti Women’s March di Erie, kota berpenduduk sekitar 90.000 orang di negara bagian Pennsylvania.
Dia adalah salah seorang dari 14 pembicara dan satu-satunya dari Indonesia dalam aksi yang dipusatkan di Erie County Courthouse. Di depan sekitar 2.500 orang, Niken yang mewakili perempuan imigran dan Muslim, menceritakan pelajaran berharga yang dipetiknya ketika melamar menjadi warga negara AS.
“Dari proses belajar itu tadi aku paham bahwa ternyata AS itu negara imigran. Dan koloni dulu waktu datang dari Eropa itu karena beberapa alasan penting untuk mendapatkan freedom atau kebebasan, kebebasan berpolitik, peluang ekonomi atau kesempatan meningkatkan keadaan ekonomi keluarga dan lari dari penindasan. Dan yang paling penting kebebasan memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing,” ujarnya.
Mantan hakim di Indonesia ini menyerukan kepada para peserta aksi agar bersama-sama menjaga kebebasan beragama yang dijamin Konstitusi AS itu.
Niken Astari, yang bersuamikan warga negara AS ini telah tinggal di Erie selama lebih dari lima tahun, dan aktif dalam beberapa organisasi sosial, termasuk American Association of University Women dan organisasi lintas agama One Table.
Niken mengatakan tadinya penyelenggara Women’s March di Erie memperkirakan hanya 500 orang akan hadir, tapi kenyataannya lima kali lipat.
Besarnya gerakan perempuan ini, baik di Erie maupun kota-kota lain memberi lulusan Pennsylvania State University ini harapan baru, setelah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS.
"Gerakan ini adalah salah satu wadah untuk mengingatkan pemerintahan baru bahwa ini negara imigran, jangan lupakan,” jelasnya.
Harapan dan semangat juga terasa di Washington DC, pusat aksi Women’s March.
Dinanda Pramesti, seorang diaspora Indonesia yang ikut aksi itu bersama teman-temannya, menggambarkan suasananya “sangat gembira, berenergi dan mempersatukan.”
Perempuan berusia 21 tahun ini lebur bersama lebih dari 500.000 orang di pusat kota Washington DC sambil mengusung poster-poster. Dinanda membawa poster yang personal, bertuliskan “I’m a Nasty Muslim Woman.”
“Saya hanya ingin menunjukkan kepada Trump, karena dia tidak suka Muslim, saya ingin memperlihatkan identitas saya sebagai Muslim, dan perempuan, karena Trump tidak suka perempuan. Dia menyebut Hillary ‘nasty woman’ (perempuan jahat),” paparnya.
Sewaktu kampanye, Trump pernah mengungkap niatnya melarang Muslim masuk ke AS dan mengumumkan wacana untuk membuat database warga Muslim di AS. Sementara istilah “nasty woman” merujuk pada komentar pedas Donald Trump mengenai kandidat presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton yang disampaikannya dalam sebuah debat kampanye pencalonan presiden AS.
Dinanda mengatakan dia turun ke jalan karena tidak ingin pemerintahan Trump menindas hak-hak perempuan.
“Kami tidak ingin Trump dan kabinetnya menghancurkan kemajuan yang telah dicapai negara ini. Kami ingin memperjuangkan hak-hak perempuan. Banyak perempuan disini khawatir apa yang akan terjadi dengan hak-hak mereka kalau Trump jadi presiden. Misalnya hak-hak reproduksi perempuan, Obamacare, dia (Trump) bilang akan mencabutnya, (itu terkait) asuransi kesehatan,” tambahnya.
Presiden AS Donald Trump hari Minggu (22/1) mencemooh ratusan ribu orang yang mengikuti unjuk rasa sehari sebelumnya di berbagai kota di Amerika untuk memprotes pemerintahannya.
"(Saya) nonton unjuk rasa kemarin tapi kita kan baru saja melewati pemilu!" kata Trump lewat Twitter dari Gedung Putih, rumahnya selama empat tahun mendatang. "Kenapa mereka tidak memilih? Seleb sakit hati."
Tokoh feminis Gloria Steinem, bintang pop Madonna, aktris Scarlett Johansson dan tokoh-tokoh penting lainnya memimpin unjuk rasa Women's March hari Sabtu (21/1) di Washington sebagai penolakan atas pelantikan Trump sebagai presiden AS ke-45 sehari sebelumnya.
Dua jam kemudian, Trump mencuit lagi, "Unjuk rasa damai adalah ciri demokrasi kita. Walaupun saya tidak setuju, saya menghargai hak orang-orang untuk menyatakan pendapat mereka." [vm/ii]