Berbicara mengenai produk Indonesia di luar negeri, khususnya di Amerika, tentu kita berpikir tentang makanan dan bumbu-bumbu masakan Indonesia yang telah banyak dipasarkan. Namun kini, karya busana Indonesia dan pelengkapnya juga telah memasuki pasar AS.
Memahami pasar Amerika
Berawal dari seorang perancang busana asal Ambon, Vanny Tousignant yang memulai karirnya sejak tahun 2013 di New York. Kini ia menjadi penggagas acara pekan busana Indonesia di New York atau yang dikenal dengan New York-Indonesia Fashion Week.
Acara yang diadakan dua kali dalam setahun, pada September dan Februari itu, memperkenalkan berbagai rancangan busana Indonesia beserta kain, aneka tenun dan pelengkap (assesori)-nya, ke pasar Amerika.
Vanny yang kini sering memberi pandangan dan bertukar pikiran dengan diaspora Indonesia, menjelaskan kiat-kiat untuk menjual pakaian di AS, baik dari jenis dan gayanya.
“Selalu ada kantong, karena di sini orang suka bawa telpon selulernya dimasukkan ke kantong, gampang diraih. Bomber jaket dengan kantong di kiri, atas dan bawah itu penting sekali karena mereka melihat dari sisi bagaimana kita bisa bergaya (stylist) tapi bisa merangkap yaitu, bisa untuk bawa semua keperluan itu”, ujarnya.
Juga dalam hal ukuran karena pasar Amerika tentu saja memerlukan ukuran yang lebih besar daripada pasar di Indonesia, Vanny menambahkan: “Untuk pasar di AS jangan sekali-sekali membawa ukuran S Indonesia. Kalau pasarnya itu untuk anak-anak sih bolehlah, ukuran S sampai XL. Tetapi di Amerika ini jangan salah, di sini ada size plus, sangat berbeda dengan Eropa. Jadi yang paling banyak itu ukuran Xl, XXL sampai tiga XXXL.”
Dewi Maya, Perancang Tas Kulit
Pada pekan peragaan yang baru berlalu di New York, tampil seorang perancang tas perempuan, Dewi Maya. Diaspora Indonesia yang tinggal di South Carolina ini memang sejak kecil menyukai mode.
Sebelum pindak ke AS, Dewi mempunyai sebuah butik di Salatiga, kampung halamannya. Kini sejak tinggal di AS, ia menekuni disain tas dari kulit, seperti yang ia tuturkan kepada VOA.
“Bahan pertamanya kanvas. Saya sudah mengerti pasar Amerika, lalu saya kembangkan dengan bahan kulit sintetis, karena di sini banyak yang vegetarian. Tapi ada beberapa pembeli yang ingin kulit asli, maka setelah itu saya coba untuk bikin dengan kulit asli yang lebih kuat dan anggun.”
Kemudian Dewi bertemu dengan Vanny Tousignant yang menawarkan untuk ikut serta dalam NY-Indonesia Fashion Week. Seperti halnya Vanny, Dewi juga menyimak pasar AS agar produknya bisa terjual.
“Yang saya perhatikan untuk membuat dan menjual tas adalah warnanya. Amerika kan mempunyai berbagai musim, jadi saya sesuaikan dengan warna apa yang trend saat ini, tapi saya juga tidak takut untuk membuat trend saya sendiri.”
Kolaborasi dengan koreografer yang juga perancang
Tas-tas rancangan Dewi Maya yang dipadukan dengan rancangan tenun milik Ananta Kanapi, yang sekaligus menjadi penata gerak (koreografer) ikut diperagakan dalam acara NY-Indonesia Fashion Week.
Ketika ditemui VOA, Ananta yang pada tahun 2006 pernah ke AS sebagai penata busana Nadine Chandrawinata, wakil dari Indonesia pada acara Miss Universe itu mengatakan, “Saya punya sekitar sembilan koleksi tenun dari NTT, dari Sumba dan Flores, saya bawa tenun-tenun itu. Jadi kerjasama antara produk saya dan produk tas Dewi”.
Tampilnya rancangan busana Indonesia dengan berbagai jenis kain dan tenun itu tidak saja memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia di Amerika, tetapi juga memberi kesempatan bagi para perancang busana Indonesia untuk memasuki pasar dunia. [ps/em]
Forum