Produsen cip terbesar di China pada Kamis (28/3) melaporkan penurunan laba tahunannya tahun lalu. Ini merupakan penurunan laba pertama sejak Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi pada 2020, menyusul semakin sengitnya persaingan teknologi antara Beijing dan Washington.
Semikonduktor adalah bagian tak terpisahkan dari perekonomian modern karena komponen itu digunakan dalam berbagai produk, mulai dari perlengkapan dapur, ponsel, mobil, hingga senjata.
Industri cip semakin terseret ke perseteruan AS dan China. Kedua negara itu saling bersaing untuk menjadi yang terunggul dalam bidang teknologi. Hubungan antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu pun memburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Washington telah berusaha untuk memutus rantai pasokan dari perusahaan-perusahaan China yang memberi akses ke teknologi canggih AS, dengan cara memperketat pembatasan ekspor cip.
Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC), produsen cip terkemuka di China, menjadi target sanksi AS pada 2020 karena AS khawatir perusahaan itu terafiliasi dengan militer Beijing.
SMIC, yang sahamnya diperdagangkan di bursa Hong Kong dan kota asalnya, Shanghai, melaporkan laba bersih pada 2023 turun 50,1 persen dari tahun sebelumnya menjadi $902 juta (Rp14 triliun) pada 2023.
Pendapatannya pada tahun ini diproyeksikan mencapai $6,3 miliar (sekitar Rp100 triliun) atau turun 13,1 persen.
“Pada 2023, industri semikonduktor mengalami tren penurunan karena lemahnya ekonomi global, lesunya permintaan pasar, dan faktor-faktor lainnya,” kata SMIC.
Beijing sedang mengupayakan swasembada produksi semikonduktor dan mengalokasikan miliaran dolar anggarannya dalam beberapa tahun terakhir demi mengatasi ketertinggalannya dari pesaing asing.
Para pakar mengatakan SMIC berhasil memproduksi cip berukuran tujuh nanometer, yang tampaknya mustahil diwujudkan tanpa dukungan teknologi asing. Mereka mempertanyakan dampak sanksi AS tersebut. [br/ka/ft]
Forum