Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani mengingat salah satu peristiwa yang paling dikenang bersama Managing Director IMF Christine Lagarde. Dalam pertemuan para menteri keuangan, Lagarde berbicara di depan forum, mengeluhkan hanya ada dua perempuan di ruangan tersebut. Saat itu, Lagarde adalah Menteri Urusan Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian Perancis. Sedang Sri Mulyani menjabat posisi Menteri Keuangan di bawah pemerintahan SBY.
Kenangan itu diceritakan kembali oleh Sri Mulyani di depan forum "Empowering Women in the Workplace" di Bali, Selasa (9/10). Sri Mulyani sendiri adalah perempuan pertama yang menjabat menteri keuangan di Indonesia. Sedangkan Lagarde adalah perempuan pertama yang pernah menjabat menteri di bidang ekonomi dalam kelompok negara G8. Lagarde juga menjadi perempuan pertama yang memimpin IMF.
Sri Mulyani mengakui, tidak ada larangan bagi perempuan Indonesia untuk bekerja di luar rumah. Namun, Indonesia adalah masyarakat paternalistik, yang menomorduakan perempuan dalam aktivitas terkait pendapatan rumah tangga.
“Banyak perempuan muda, ketika mereka masuk ke dunia kerja, mereka sebenarnya sangat antusias. Tetapi ketika kemudian mereka menghadapi kehidupan nyata, maka kita akan menghadapi apa yang saya sebut sebagai dilema waktu. Jadi, ketika perempuan menikah, memiliki keluarga dan kemudian hamil, semua hal seolah-olah kemudian menjadi beban bagi perempuan. Perempuanlah yang hamil, melahirkan, kemudian mengurus anak, dan mengurus anak selalu saja dipandang sebagai tugas perempuan,” jelasnya.
Kondisi itu, menurut Sri Mulyani menimbulkan beban tambahan bagi perempuan Indonesia. Salah satu yang bisa meringankan beban itu adalah penerapan kebijakan yang berpihak. Sri Mulyani menegaskan, penerapan kebijakan itu sudah dimulai di lembaga yang dipimpinnya. “Di institusi saya, diwajibkan untuk menyediakan kantor yang lebih bersahabat bagi perempuan. Ada penitipan anak, ruang menyusui dan sebagainya. Itu tidak wajib menurut aturan, tetapi saya menjadikannya wajib. Setidaknya ini akan mengurangi beban bagi perempuan,” lanjut Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga berpesan agar perempuan lebih mudah bekerja sama memperjuangkan posisi tinggi dalam dunia kerja. Ada sejumlah fakta di mana perempuan lebih suka saling bersaing, dan itu dijadikan alasan bagi pekerja laki-laki untuk menunjukkan bahwa perempuan sulit bekerja sama.
Berbicara dalam forum yang sama, Vera Songwe, Sekretaris Eksekutif United Nations Economic Commission for Africa (UNECA) berbagi kisah tentang perjuangan perempuan Afrika. Songwe memandang, kesetaraan perempuan harus diperjuangkan dari hal paling dasar. Berkaca dari pengalamanya, dia mengatakan jika ada akses terhadap listrik, maka perempuan bisa memasak dan menyimpan makanan, dan karena itu dia kemudian bisa bekerja. Begitu pula jika ada tempat penitipan anak, maka perempuan bisa bekerja lebih baik. Selain itu, perempuan juga membutuhkan akses lebih besar ke lembaga keuangan.
“Jika kita bisa meningkatkan akses terhadap listrik, kesempatan bekerja bagi perempuan akan naik hingga 9 persen, seperti yang sudah kita buktikan di Afrika Selatan. Dan dengan meningkatnya kesempatan perempuan untuk bekerja, tidak peduli dalam sektor apa, telah meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) di Tanzania sebanyak 2 persen, meningkatkan PDB di Afrika Selatan sebesar 10 persen, PDB di Mesir hampir 34 persen,” kata Vera Songwe.
Di Afrika, kata Songwe, 80 persen tanah dimiliki oleh laki-laki, tetapi 70 persen pekerja pertanian adalah perempuan. Kondisi itu tidak adil, karena yang dibutuhkan bukan hanya perempuan bekerja, tetapi juga lebih produktif dan lebih dari itu mengarahkan mereka pada kesejahteraan.
Songwe menyinggung pentingnya peningkatan akses internet untuk menjembatani kesenjangan keterampilan perempuan. Mengutip data, Songwe menyatakan jumlah perempuan yang mengakses internet 250 juta lebih sedikit daripada laki-laki pada 2017. Di Afrika, selisih laki-laki dan perempuan yang mengakses internet mencapai 27 juta. “Akses internet yang dapat diandalkan dan terjangkau akan membantu perempuan menutup kesenjangan digital saat ini, ” tambah Songwe.
Persoalan perempuan dan internet ini juga disinggung Christine Lagarde. Mengutip data, dia mengatakan bahwa secara global ada 180 juta posisi pekerjaan yang saat ini dipegang perempuan akan hilang karena masuknya teknologi. Lagarde menyebut itu sebagai berita buruk. Namun, dia juga menyertakan kabar baik bahwa investasi pada pendidikan bagi perempuan akan mampu mengatasi tantangan ini.
"Tetapi, ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu. Dan sesuatu itu adalah pendidikan, sebuah upaya untuk membantu perempuan tidak hanya melek komputer, tetapi sepenuhnya menguasai tantangan teknologi itu. Dan itu dilakukan dengan mengarahkan sumber daya ke pendidikan dan keahlian yang tepat, yang melengkapi perempuan agar dapat maju, mengantisipasi perubahan teknologi yang berdampak ke perempuan lebih besar dibandingkan ke laki-laki,” kata Christine Lagarde.
Carolyn A. Wilkins, Senior Deputy Governor Bank of Canada (Deputi Senior Gubernur Bank Sentral Kanada) setuju dengan Lagarde, bahwa pendidikan akan membantu perempuan dalam proses ini. Wilkins memaparkan berbagai upaya yang dilakukan Kanada, misalnya pajak untuk usaha kecil yang dimiliki perempuan dan program di bidang pendidikan bagi perempuan. “Pembiayaan bagi perempuan bukan sebuah isu di Kanada atau mungkin Amerika Serikat, tetapi masih banyak perempuan di bagian dunia lain yang terkait dengan persoalan akses semacam itu, di mana mereka belum tersentuh sistem perbankan,” ujar Wilkins.
Sebuah kritik keras disampaikan Direktur Eksekutif International Women's Rights Action Watch-Asia Pacific, Priyanthi Fernando. Dia mengatakan, banyak ekonom tidak memasukkan pekerjaan perempuan di rumah tangga ke dalam statistik, hanya karena mereka tidak digaji ketika melakukan pekerjaan domestik.
"Saya kira yang tidak kita pahami sebagai pakar ekonomi, adalah bagaimana menghitung kinerja itu. Pekerjaan perempuan itu tidak dihitung dan secara literal tidak masuk dalam statistik, dan sebagai sebuah metafora, karena pekerjaan itu dianggap tidak bernilai. Perempuan berperan besar dalam ekonomi, karena sebenarnya perempuan bekerja dengan tidak dibayar dalam keluarganya, dalam pekerjaan yang tidak resmi, dan dalam pekerjaan-pekerjaan penting lainnya,” kata Priyanthi Fernando.
Fernando menyebut, karena kelalaian terhadap perempuan yang bekerja di rumah, ada 16,4 milyar jam kerja setiap hari yang diabaikan. Angka itu setara dengan 2 miliar orang yang bekerja tanpa gaji. Padahal jika diperhitungkan, perempuan yang bekerja di rumah bisa menyumbang hingga 9 persen PDB global. “Maka seharusnya itu dihitung, tidak hanya sebagai statistik tetapi juga nilainya,” kata Fernando. [ns/uh]