Hampir satu miliar orang menderita gangguan mental pada tahun 2019. Angka itu terus bertambah, dengan data terbaru menunjukkan bahwa kondisi seperti depresi dan gangguan kecemasan meningkat lebih dari 26 persen pada tahun pertama pandemi COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini merilis laporan terlengkapnya mengenai kesehatan mental dunia sejak tahun 2000. Laporan itu menemukan bahwa 14 persen, atau satu dari tujuh remaja, menderita gangguan mental. Laporan itu juga menunjukkan bahwa satu dari 100 kematian disebabkan oleh bunuh diri, di mana 58 persennya dilakukan individu di bawah usia 50 tahun.
Kepala unit kesehatan mental WHO, Mark Van Ommeren, mengatakan bahwa gangguan mental merupakan penyebab utama disabilitas. Ia mencatat, depresi dan gangguan kecemasan menyebabkan kerugian ekonomi hingga hampir $1 triliun karena hilangnya produktivitas. Terlepas dari konsekuensi sosial-ekonomi yang sangat besar, Van Ommeren mengatakan, banyak orang dengan masalah kesehatan mental tidak mencari pertolongan karena berbagai alasan.
“Salah satu alasannya adalah rasa takut akan stigma karena mencari pertolongan. Alasan lainnya bisa karena mereka tidak mempercayai layanan yang tersedia, karena belum ada investasi yang cukup besar untuk layanan itu. Ketiga, bisa jadi mereka tidak sadar kalau mereka sedang mengalami gangguan, karena pengetahuan mereka tentang kesehatan mental terbatas,” ujarnya.
WHO mengatakan hanya sebagian kecil orang yang membutuhkan pertolongan punya akses pada perawatan kesehatan mental yang efektif, terjangkau dan berkualitas. Kesenjangan antara negara-negara maju dan berkembang teramat besar, di mana 70 persen orang dengan psikosis atau kelainan jiwa mendapatkan pengobatan di negara-negara kaya, sementara hanya 12 persen di negara-negara miskin, kata WHO.
Van Ommeren menyebut sistem perawatan kesehatan mental saat ini tidak sempurna dan harus diubah. Ia mengatakan, pemerintahan berbagai negara saat ini menginvestasikan dua per tiga anggaran mereka pada kesehatan mental di rumah-rumah sakit jiwa kustodian besar. Menurutnya, anggaran itu lebih baik dialokasikan pada fasilitas kesehatan mental berbasis masyarakat karena akan lebih mudah diakses.
“Kecil kemungkinan terjadi pelanggaran HAM… Suasana di rumah-rumah sakit besar seakan-akan menampung orang-orang dengan masalah kesehatan mental yang sangat parah. Sementara di fasilitas kesehatan masyarakat yang lebih ramah, suasana seperti itu kecil kemungkinan tercipta, lebih banyak orang dapat dengan mudah diobati. Rumah sakit jiwa memiliki begitu banyak stigma yang membuat banyak orang tidak pernah mau berobat di sana,” tambahnya.
WHO mengatakan, negara-negara dapat memberikan pengobatan yang lebih baik dan lebih terjangkau dengan memperkuat layanan kesehatan masyarakat. Badan itu merekomendasikan agar pengobatan kesehatan mental dapat diintegrasikan ke dalam sistem perawatan kesehatan primer, baik di sekolah maupun di penjara. WHO juga mengatakan bahwa kesehatan mental seharusnya juga ditanggung oleh asuransi. [rd/jm]