Mereka tidak bisa menghidupkan kembali anak-anak, saudara kandung atau pasangan mereka, tetapi setelah lima tahun berlalu, keluarga korban kecelakaan Boeing pada 2019 ingin memastikan tragedi serupa tidak akan terulang.
“Ada warga Prancis, Kanada, AS, Irlandia, Inggris, kita semua ada di sana bersama-sama dan kita berjuang bersama-sama,” kata Naoise Ryan, yang memegang foto mendiang suaminya, Mick, kepada wartawan, pada Rabu (24/4).
Mick, dari Irlandia, adalah satu dari 157 orang yang tewas ketika Boeing 737 MAX yang dioperasikan Ethiopian Airlines jatuh beberapa menit setelah lepas landas pada 10 Maret 2019.
Ryan dan ratusan anggota keluarga korban kecelakaan Boeing tersebut meminta Departemen Kehakiman AS untuk mengadili Boeing. Bersama mereka adalah kerabat korban kecelakaan dari pesawat Boeing 737 MAX lima bulan sebelumnya, yang menewaskan 189 orang, dalam penerbangan maskapai Lion Air di Indonesia.
Yang menyedihkan, kata Ryan, setiap kali selesai pertemuan baru, seperti yang diadakan dengan pejabat kehakiman minggu ini yang bertujuan meminta pertanggungjawaban Boeing, hampir tidak ada tanda-tanda kemajuan.
“Datang ke sini setiap kali dan bertemu Departemen Kehakiman, sungguh traumatis,” ujarnya kepada kantor berita AFP. Tetapi, ia menambahkan bahwa “sangat penting untuk hadir.”
Bagi Catherine Berthet, yang kehilangan putrinya, Camille, 28, dalam kecelakaan di Ethiopia, kebersamaan dengan kerabat korban adalah sebuah “berkah.”
“Kami sangat dekat tetapi kami tidak pernah membicarakan apa yang terjadi,” kata Berthet yang tangannya tampak gemetar ketika berbicara kepada wartawan.
Berthet, 56, datang dari Prancis dengan membawa foto Camille yang tersenyum di samping adik laki-lakinya. Foto itu secara ajaib ditemukan di antara puing-puing pesawat, bersama gaun hitam yang diberikan Berthet kepada Camille sebagai hadiah ulang tahun. [ka/rs]
Forum