JAKARTA —
Intelektual Muslim dan tokoh pendidikan Islam asal Amerika Serikat, Shabbir Mansuri, mengatakan warga Amerika Serikat memiliki cara pandang yang berbeda terhadap Islam, khususnya setelah terjadi peristiwa teror pada 9 September 2011, atau tragedi 9/11.
Berbicara di Pusat Kebudayaan Amerika di Jakarta baru-baru ini, Mansuri menjelaskan walau awalnya ada stigma negatif dan diskriminasi atas Islam, namun warga Amerika Serika perlahan-lahan menerima keberadaan Islam.
“Setelah peristiwa 9/11? Hal ini menarik karena ini terjadi di wilayah publik, dimana tekanan terhadap umat Islam telah berubah tentang bagaimana orang-orang Kristen melihat Islam dan bagaimana orang Amerika melihat Islam. Dalam ruang publik kita memiliki apa yang kita anggap sebgai sebuah percakapan atas berbagai isu yang ada, apakah kita menyetujuinya atau tidak,” ujar Mansuri.
Tantangan utama dalam memberikan pemahaman seputar dunia Islam, menurut Mansuri adalah mengkomunikasikan sesuatu hal kepada seseorang yang kebetulan keyakinannya berasal dari kalangan lain.
“Tantangannya adalah mengkomunikasikan hal yang berbeda kepada orang yang berbeda, siapa yang menolak informasi itu atau belum menerima informasi. Ini adalah situasi yang terjadi dan menarik untuk dikaji,” ujarnya.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel di tempat yang sama mengatakan, warga Amerika Serikat sangat membuka diri untuk lebih memperdalam tentang Islam. Hal itu dibuktikan, menurut Marciel, dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam di sana. Saat ini pemeluk Islam di Amerika Serikat tercatat mencapai 7,5 juta orang.
Berbagai program, ujar Marciel, digelar oleh pemerintah Amerika Serikat, untuk membangun pemahaman yang lebih baik mengenai Islam di kalangan warga Amerika Serikat.
“Ini merupakan cara lain mempromosikan saling pengertian antara orang Amerika dan orang Indonesia termasuk orang Islam di Amerika. Kita hidup di masyarakat yang penuh keberagaman. Kami senang bisa bersama Dr. Mansuri untuk berbicara di sini,” ujarnya.
“Penduduk yang beragama Islam merupakan populasi yang terus tumbuh di Amerika saat ini dan kami menemukan bahwa mereka itu adalah bagian dari orang Amerika sehingga kami semakin merasa nyaman dengan situasi ini. Di setiap negara termasuk Amerika tentu ada saja orang-orang yang bersikap intoleran, tetapi semua itu cukup bisa diatasi.”
Marciel menambahkan, stigma negatif yang selama ini tersemat di kalangan muslim di Amerika Serikat juga mulai luntur. Hal ini terbukti dari testimonial para pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di sana, ujarnya.
Mansuri adalah salah satu pelopor pendidikan Islami di Amerika Serikat. Pada 1991, ia mendirikan Council on Islamic Education (CIE – Dewan Pendidikan Islam), yaitu sebuah organisasi yang bertujuan untuk memperluas pengertian dan kajian tentang sejarah dan agama-agama di dunia, terutama yang berhubungan dengan Islam, ke dalam kurikulum sistem pendidikan di Amerika Serikat.
Pada 2007, CIE berubah nama menjadi Institute on Religion and Civic Values (IRCV – Institut Nilai-Nilai Keagamaan dan Kewarganegaraan) agar lebih sesuai dengan misi organisasi itu, yakni mengajarkan nilai-nilai keimanan, kewarganegaraan dan pluralisme, dengan fokus khusus kepada kebebasan beragama, toleransi dan kemampuan membaca ayat-ayat agama.
Berbicara di Pusat Kebudayaan Amerika di Jakarta baru-baru ini, Mansuri menjelaskan walau awalnya ada stigma negatif dan diskriminasi atas Islam, namun warga Amerika Serika perlahan-lahan menerima keberadaan Islam.
“Setelah peristiwa 9/11? Hal ini menarik karena ini terjadi di wilayah publik, dimana tekanan terhadap umat Islam telah berubah tentang bagaimana orang-orang Kristen melihat Islam dan bagaimana orang Amerika melihat Islam. Dalam ruang publik kita memiliki apa yang kita anggap sebgai sebuah percakapan atas berbagai isu yang ada, apakah kita menyetujuinya atau tidak,” ujar Mansuri.
Tantangan utama dalam memberikan pemahaman seputar dunia Islam, menurut Mansuri adalah mengkomunikasikan sesuatu hal kepada seseorang yang kebetulan keyakinannya berasal dari kalangan lain.
“Tantangannya adalah mengkomunikasikan hal yang berbeda kepada orang yang berbeda, siapa yang menolak informasi itu atau belum menerima informasi. Ini adalah situasi yang terjadi dan menarik untuk dikaji,” ujarnya.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel di tempat yang sama mengatakan, warga Amerika Serikat sangat membuka diri untuk lebih memperdalam tentang Islam. Hal itu dibuktikan, menurut Marciel, dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam di sana. Saat ini pemeluk Islam di Amerika Serikat tercatat mencapai 7,5 juta orang.
Berbagai program, ujar Marciel, digelar oleh pemerintah Amerika Serikat, untuk membangun pemahaman yang lebih baik mengenai Islam di kalangan warga Amerika Serikat.
“Ini merupakan cara lain mempromosikan saling pengertian antara orang Amerika dan orang Indonesia termasuk orang Islam di Amerika. Kita hidup di masyarakat yang penuh keberagaman. Kami senang bisa bersama Dr. Mansuri untuk berbicara di sini,” ujarnya.
“Penduduk yang beragama Islam merupakan populasi yang terus tumbuh di Amerika saat ini dan kami menemukan bahwa mereka itu adalah bagian dari orang Amerika sehingga kami semakin merasa nyaman dengan situasi ini. Di setiap negara termasuk Amerika tentu ada saja orang-orang yang bersikap intoleran, tetapi semua itu cukup bisa diatasi.”
Marciel menambahkan, stigma negatif yang selama ini tersemat di kalangan muslim di Amerika Serikat juga mulai luntur. Hal ini terbukti dari testimonial para pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di sana, ujarnya.
Mansuri adalah salah satu pelopor pendidikan Islami di Amerika Serikat. Pada 1991, ia mendirikan Council on Islamic Education (CIE – Dewan Pendidikan Islam), yaitu sebuah organisasi yang bertujuan untuk memperluas pengertian dan kajian tentang sejarah dan agama-agama di dunia, terutama yang berhubungan dengan Islam, ke dalam kurikulum sistem pendidikan di Amerika Serikat.
Pada 2007, CIE berubah nama menjadi Institute on Religion and Civic Values (IRCV – Institut Nilai-Nilai Keagamaan dan Kewarganegaraan) agar lebih sesuai dengan misi organisasi itu, yakni mengajarkan nilai-nilai keimanan, kewarganegaraan dan pluralisme, dengan fokus khusus kepada kebebasan beragama, toleransi dan kemampuan membaca ayat-ayat agama.