Lam Foon, 98, duduk bersandar dan terbungkus selimut wol lembab di tempat tidur rumah sakit di luar pintu masuk Caritas Medical Centre, Hong Kong, menunggu tes-tes guna mengukuhkan hasil tes positif awal untuk COVID-19.
Lam adalah satu dari puluhan pasien yang terbaring di halaman parkir Caritas pada Kamis (17/2), setelah tidak ada lagi kamar tersedia di dalam rumah sakit itu yang melayani 400 ribu orang di distrik kelas pekerja Cheng Sha Wan di Semenanjung Kowloon.
Suhu turun menjadi 15 derajat Celsius di tengah hujan.
Staf medis tidak dapat mengatakan berapa lama Lam harus menunggu. Orang yang tes COVID awalnya positif harus menjalani tes lanjutan sebelum mendapat perawatan.
Pemandangan ini dan yang serupa lainnya di pusat finansial global ini merupakan tanda-tanda sistem perawatan kesehatan masyarakat di bawah tekanan berat ketika kasus COVID-19 melonjak, dengan lebih dari 95 persen dari semua tempat tidur di rumah sakit terisi penuh.
Hong Kong, yang pernah sebagian besar terisolasi dari pandemi virus corona, kini menghadapi wabah di berbagai penjuru kota itu dengan bisnis yang terjepit dan sebagian kehilangan kesabaran dengan kebijakan “nol COVID” yang diberlakukan pemerintah.
Di klaster di distrik-distrik kelas pekerja di Sham Shui Po, beberapa blok perumahan telah ditutup, kerumunan orang di mal dan pasar jalanan menipis, dan tempat-tempat makan serta kios-kios yang menjual pernak-pernik semakin sepi pada malam hari.
Trevor Chung, staf medis di Caritas, menyalahkan pemerintah antara lain karena perencanaan yang tidak memadai, kurangnya tempat tidur rumah sakit dan peralatan medis lainnya, serta kekurangan tenaga kerja yang kronis. “Pemerintah meremehkan situasinya,” kata Chung. Ia memperkirakan situasi akan bertambah buruk, karena banyak lansia di distrik sekitarnya dan banyak di antara mereka yang tidak divaksinasi.
Otoritas Hong Kong pada Kamis (17/2) meminta maaf atas situasi mengerikan di rumah sakit-rumah sakit yang melayani 7,4 juta penduduk kota itu.
Kebijakan nol COVID Hong Kong membuat orang-orang yang tanpa gejala dan bahkan dengan gejala ringan harus dikirim ke rumah sakit atau pusat karantina, meskipun pemerintah kini menyesuaikan strateginya karena sistem layanan kesehatan yang kewalahan.
Wabah ini semakin menambah tekanan terhadap pemimpin Hong Kong Carrie Lam, yang masa jabatan lima tahunnya akan berakhir Juni.
Meskipun Lam mengatakan menyerah pada virus “bukanlah opsi” dan Presiden China Xi Jinping telah menyatakan “misi utama” Hong Kong adalah mengendalikan virus, sebagian orang menyatakan keraguan itu.
"Anda lihat saya mengenakan dua lapis masker. Saya perlu melindungi diri karena pemerintah tidak akan melindungi saya,” kata Lo Kai-wai, pekerja logistik yang antre di pusat tes yang telah mencapai kuota harian, 3.000 tes. “Saya tidak ingin melihatnya mendapat masa jabatan kedua,” ujarnya.
Sebagian pemilik bisnis yang terdampak berbagai restriksi yang diberlakukan pemerintah juga mempertanyakan kelanjutan kebijakan yang sekarang.
"Pemerintah perlu menemukan keseimbangan untuk mengendalikan virus, juga membiarkan warga untuk hidup dengan lebih baik,” kata Timothy Poon, manajer kafe di dekat rumah sakit, yang bisnisnya turun hingga 60 persen di tengah wabah. “Kebijakan nol COVID adalah misi yang mustahil,” lanjutnya.
Namun yang lainnya ada yang lebih optimistis.
“Kalau semua orang bersedia divaksinasi, situasi akan membaik,” kata Lung Mei-chu, 78, di pusat tes COVID di distrik lainnya. [uh/ab]