Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Karyoto mengungkapkan pihaknya telah menetapkan 12 tersangka dalam kasus TPPO penjualan organ ginjal ke Kamboja.
“Tim Gabungan dari Polda Metro Jaya, Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Polres Metro Bekasi, di bawah asistensi dari Dittipidum Bareskrim Polri serta Divhubinter telah mengungkap perkara TPPO dengan modus eksploitasi, penjualan organ tubuh manusia jaringan Kamboja yang telah memakan korban sebanyak 122 orang. Sampai hari ini tim telah menangkap sebanyak 12 tersangka,” ungkapnya dalam konferensi pers di Gedung Polda Metro Jaya, di Jakarta, Kamis (20/7).
Ia menjelaskan, sembilan dari 12 tersangka ini merupakan sindikat dalam negeri yang berperan dalam merekrut, menampung, serta mengurus perjalanan korban. Satu tersangka lain merupakan sindikat jaringan luar negeri yang menghubungkan korban dengan sebuah rumah sakit di Kamboja. Sementara itu, dua tersangka lain di luar sindikat tersebut berasal dari oknum di instansi Polri dan imigrasi.
“Dalam pengembangan, siapapun yang terlibat nanti kita akan terus membuka, bagaimana proses terjadinya perekrutan, kemudian mencari korban, membawa korban dan meloloskan korban sehingga sampai ke luar negeri ini sedang kita dalami,” tambahnya.
Para tersangka didakwa melanggar undang-undang perdagangan orang dan menghadapi hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga 600 juta rupiah ($40.040) jika terbukti bersalah.
Motif Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Polisi Hengky Haryadi mengungkapkan dari hasil penyidikan terungkap bahwa sebagian besar motif korban TPPO ginjal ini adalah motif ekonomi. Ia menjelaskan, profesi korban TPPO ginjal ini cukup beragam mulai dari pedagang, guru privat, bahkan ada seorang lulusan S2 yang berasal dari universitas terkemuka di tanah air. Semua korban ini, kata Hengky tidak memiliki pekerjaan karena terdampak pandemi COVID-19.
“Para sindikat Indonesia menerima pembayaran sejumah Rp200 juta. Seratus tiga puluh lima juta dibayarkan kepada pendonor, sedangkan para sindikat menerima Rp65 juta per orang dipotong ongkos operasi mereka,” kata Hengky.
Ia juga menyatakan, tidak ada satu pun dari 122 korban TPPO penjualan ginjal tersebut yang meninggal dunia. Namun polisi masih akan terus memantau kondisi para korban.
Sosial Media Jadi Sarana Merekrut Orang yang Mau Jual Ginjal
Lebih jauh, Hengky menjelaskan ada beberapa modus operandi sindikat tersebut dalam menjaring para korban, yakni pertama merekrut melalui sosial media Facebook. Dalam temuan pihak kepolisian terdapat dua akun yang melakukan perekrutan yakni Donor Ginjal Indonesia, dan Donor Ginjal Luar Negeri. Modus kedua adalah perekrutan dari mulut ke mulut.
Berdasarkan keterangan dari para korban juga diketahui bahwa penerima donor ginjal tersebut berasal dari berbagai negara yakni India, Malaysia, China dan sebagainya.
Hengky menduga bahwa sindikat jual beli ginjal ini kemungkinan sudah berlangsung lama, dan bukan satu-satunya. Selain itu, sindikat penjualan organ tubuh manusia ini diduga terdapat di dalam negeri, karena salah satu tersangka yang merupakan mantan pendonor ginjal, melakukan transplantasi ginjal di Indonesia.
“Jadi yang luar negeri kita kerjakan, dan kita akan kembangkan lagi yang di dalam negeri,” tuturnya.
Bekasi Jadi “Markas” Penjualan Ginjal, RS Pemerintah Kamboja Jadi Lokasi Operasi Transplantasi
Sementara itu, Kadiv. Hubinter Polri Krishna Murti mengatakan kasus TPPO penjualan organ ginjal ini terungkap dari sebuah basecamp yang ada di Perumahan Villa Muara Gading, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
Setelah dilakukan penyidikan diketahui bahwa para korban dibawa ke Kamboja untuk kemudian operasi transplantasi ginjal di salah satu rumah sakit milik pemerintah Kamboja, yakni RS Preah Ket Mealea. Pihak penyidik, kata Krishna, mengaku awalnya cukup kesulitan untuk mengungkap dan menyelamatkan para korban.
“Kesulitan kami adalah belum ada kesepahaman tentang kasus-kasus TPPO baik di lingkungan internal dalam negeri, domestik khsusunya K/L, termasuk KBRI yang sebagian menganggap ini belum terjadi tindak pidana, tapi kami meyakinkan bahwa ini telah terjadi tindak pidana,” ungkap Krishna.
“Terjadi eksekusi transaksi ginjal di RS pemerintah. Ini menjadi catatan, sehingga kami harus berkomunikasi dengan otoritas yang lebih tinggi bahkan kami harus berbicara ke staf khusus Perdana Menteri untuk meminta bantuan memulangkan para korban TPPO ini. Kami juga berkomunikasi ketat dengan Kepolisian Kamboja, Interpol Kamboja, dan alhamdulilah kasus ini terungkap,” jelas Krishna.
Korban TPPO Terus Meningkat
Direktur Pelindungan WNI & BHI Kementerian Luar Negeri Ahmad Baihaqi mengatakan dari tahun 2021 hingga 2022 pihaknya mencatat peningkatan korban TPPO luar negeri yang cukup signifikan.
“Ada kenaikan 100 persen lebih. Hal ini memberikan gambaran yang cukup jelas kepada kita semua, bahwa kasus TPPO memerlukan atensi, perlu kerja sama yang kuat antar instansi, antar K/L baik dimulai pada saat pencegahan kemudian pada saat penanganan kasus tersebut, pemulangan dan sampai penindakan hukum bagi orang yang terlibat,” ungkap Ahmad.
Ia pun mengajak masyarakat untuk turut serta membuka mata dan telinga guna mencegah dan mengungkap kasus TPPO tersebut. Jumlah korban yang tinggi tersebut, ujarnya, dikarenakan ketidaktahuan masyarakat akan adanya modus perdagangan manusia ini.
Indonesia tidak asing dengan perdagangan orang, terutama untuk tenaga kerja dan seringkali mereka direkrut karena terjerat utang.
Pada tahun 2019, pihak berwenang menangkap delapan orang terkait perdagangan manusia terbesar di Indonesia, dengan sekitar 1.200 korban dibawa ke luar negeri untuk disalurkan sebagai pekerja rumah tangga. [ab/uh], [gi/em]
Forum