Sejumlah lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat atau quick count dalam pemilu 2019 ini membeberkan semua data dan metodologi yang digunakan dalam pemilu yang berlangsung 17 April kemarin. Hal ini tampaknya merupakan upaya menjawah tudingan calon presiden Prabowo Subianto bahwa semua lembaga survei yang melakukan quick count adalah tukang bohong, karena data internalnya menunjukkan hasil berbeda.
Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) Phillips J. Vermonte menjelaskan semua lembaga survei menggunakan metode randomisasi dalam melakukan penghitungan cepat ini. Dengan minimal sebanyak 2.000 TPS yang dijadikan sampel, maka margin of error-nya pun hanya akan berkisar satu persen saja.
“Metodenya itu, kita merandom TPS, ngambil 2.000, 3.000, 4.000 atau 5.000 TPS. Ada enumerator yang kita kirim ke tiap TPS. Kita juga memobilisasi paling tidak 2.000 orang. Nanti dia melaporkan dari penghitungan di TPS, C1 Plano itu, difoto. Lalu kita ada sistem server, dan lain-lain. Kirim ke kita, lalu ditabulasi, sudah. Kalau 2.000 itu standar minimal, artinya kita bisa lewat margin of error kurang lebih satu persen. Bikin survei malah lebih susah menebak karena margin of errornya bisa 2,5 persen, bisa 3,5 persen, tergantung jumlah sampel. Tapi kalau quick count itu, dengan 2.000 TPS itu margin of errornya udah tinggal satu persen saja,” ungkap Phillips.
Delapan Lembaga Survei Paparkan Data & Metodologi Quick Count
Dalam konferensi pers di Jakarta hari Sabtu (20/4) delapan lembaga survei yang melakukan hitung cepat di Pileg dan Pilpres 17 April kemarin, membuka data dan memaparkan metodologi yang digunakan kepada para awak media yang hadir.
Phillips Vermonte juga menekankan bahwa aktivitas quick count dan exit poll adalah aktivitas yang legal, dan diakui oleh hukum dan Undang-Undang Pemilu. Ditambahkannya, quick count merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam penguatan demokrasi.
Oleh karena itu bisa dipastikan hasilnya tidak abal-abal atau tanpa metodologi sebagaimana disangkakan banyak pihak akhir-akhir ini.
Pihak yang menuding bahwa lembaga survei melakukan pembohongan publik, berarti berupaya mendegradasi ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini.
Lembaga Survei Siap Buka Dana Operasi Asal Prabowo Melakukan Hal Yang Sama
Selain itu, Phillips pun siap untuk membuka sumber dana operasional yang digunakan oleh para lembaga survei tersebut, asalkan pihak Prabowo-Sandi juga melakukan hal yang sama; termasuk membuka data internal quick count mereka yang menunjukkan bahwa Prabowo-Sandi menang 62 persen atas Jokowi-Maruf.
“Menurut saya itu bukan isunya. Menurut saya adalah bahwa ada orang-orang yang mendegradasi temuan ilmiah yang menurut saya itu kurang baik bagi pertumbuhan demokrasi, sementara pada saat yang sama record dari quick count itu, baik ketika bersesuaian dengan keinginannya mereka akan mengatakan ini lembaga kredibel, tidak dibayar, penuh integritas. Tapi kalau tidak sesuai dengan keinginannya dia bilang itu lembaga yang tidak punya integritas. Itu hal yang biasa dalam politik! Tadi disampaikan ada discrepancy antara politik itu tentang feeling, quick count itu tentang science, jadi dia tidak nyambung antara feeling dengan sciencenya,” papar Phillips.
SMRC: Kredibilitas Lembaga Survei Tak Perlu Diragukan
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan bahwa kredibilitas dan integritas lembaga-lembaga survei yang melakukan hitung cepat tidak perlu diragukan lagi. Pasalnya, lembaga survei itu sudah melakukan quick count dalam berbagai pemilu langsung yang diselenggarakan di Indonesia, sejak beberapa tahun yang lalu. Ia juga menegaskan bahwa quick count bukanlah alat untuk menutupi kecurangan. Justru hitung cepat ini menjadi preferensi bagi publik atas hasil resmi yang akan disampaikan oleh KPU pada 22 Mei nanti.
“Bayangkan sudah ada ribuan quick count yang dilakukan dan secara umum itu tidak ada masalah dengan quick count. Tidak ada. Jadi kita masyarakat terutama politisi sebetulnya sudah terbiasa dengan quick count ini, dan sebetulnya quick count tidak memerlukan nalar yang terlalu tinggi untuk memahaminya. Jadi harusnya kita dengan mudah bisa memahami apa itu quick count, apa itu fungsinya, untuk apa selanjutnya dan sebagainya. Jelas quick count itu adalah persoalan pengetahuan, bukan soal keputusan politik, itu harus kita bedakan. Kalau keputusan politik itu persoalan di KPU, quick count adalah persoalan pengetahuan, persoalan scientific,” jelas Djayadi.
Masyarakat Diimbau Tidak Ragukan Ilmu Pengetahuan
Sementara itu, Ketua Dewan Etik Persepi Hamdi Muluk menjelaskan adanya persepsi yang salah dalam masyarakat tentang metodologi hitung cepat ini, di mana hitung cepat membutuhkan sampel data yang sangat banyak. Padahal dengan data 4.000 TPS saja, kata Hamdi, sudah bisa mewakili suara di 800 ribu TPS di seluruh Indonesia.
“Asalkan sampelnya tidak bias dengan randomisasi yang maksimal,” tambahnya.
Ia mengimbau kepada masyarakat di Indonesia untuk tidak meragukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan prosedur yang baik dan benar yang sudah ada di dunia ini. Karena jika meragukannya maka sama saja dengan membunuh ilmu pengetahuan itu sendiri dan menghambat kemajuan Indonesia di masa depan. Ia menjamin bahwa metodologi hitung cepat dalam pemilu ini merupakan metodologi ilmiah yang sudah sesuai dengan prosedur keilmuan yang ada.
“Saya ingin menghimbau sekarang, kita ini adalah masyarakat knowledge-based society, kita berbangsa dan bernegara, yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan di segala bidang, termasuk juga di politik. Demokrasi itu semuanya berbasis ilmu pengetahuan, jadi hari ini kalau kita ikuti adalah makian orang itu, untuk mengatakan usaha ilmiah, Anda bisa cek nanti betapa seriusnya pekerjaan ini dalam hal prosedur. Walaupun dari segi sofistikasi, kecanggihan untuk menebak parameter itu, quick count itu paling rendah; masih sulit survey pra-pemilu itu, masih sulit menebak persepsi orang, sulit menebak opini orang, yang di survey itu. Makanya akurasinya bisa naik turun. Quick count itu yang paling mudah, jadi saya tidak mengerti sekarang kenapa politisi kita banyak anti science. Padahal kita ingin ke depan Indonesia seperti negara maju lainnya, negara yang mendasarkan dirinya kepada ilmu pengetahuan, knowledge based society, jadi hari ini kalau kita berjamaah menghujat usaha-usaha ilmiah seperti ini, apakah kita tidak sedang membunuh ilmu pengetahuan di Indonesia? tentunya ilmu pengetahuan yang dilakukan dengan cara prosedur yang benar,” tegas Hamdi.
Belum ada tanggapan dari kubu pasangan capres-cawapres 02 tentang pernyataan-pernyataan dan ekspose lembaga-lembaga survei terkemuka ini. (gi/em)