Gubernur DKI Fauzi Bowo mengatakan Sabtu (9/6) di Jakarta, penanggulangan HIV/AIDS menjadi salah satu tanggungjawab Pemprov DKI, terutama dalam memberikan bantuan medis kepada penderita. Para petugas kesehatan Pemerintah Provinsi DKI berupaya keras untuk membantu memberikan pengobatan kepada mereka yang mengidap penyakit HIV/AIDS.
“Selain sosialisasi yang kita berikan, kita juga berikan tempat pengobatan yang mudah dicapai penderita, terutama di puskesmas kecamatan kita di DKI sudah ada alternatif pengobatan. Ini yang menyebabkan mereka (penderita) melapor, sehingga kita punya datanya bertambah,” demikian ungkap Gubernur Fauzi Bowo dalam Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2012, di Tugu Raden Ajeng Kartini, Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (9/6).
Gubernur Fauzi Bowo mengakui, DKI Jakarta salah satu provinsi dengan penderita HIV/AIDS yang cukup tinggi setelah Papua. ”(Tercatat ada) sebelas ribu lebih penderita HIV dan AIDS. Saya prihatin (akan jumlah ini), namun disisi lain, kita berhasil merubah stigma. Yang dulu ditutup-tutupi, sekarang tidak. Sekarang orang mencari pengobatan, dia melapor dan kita berikan pengobatan itu,” kata Fauzi Bowo.
Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mencatat, sebanyak 2.605 kasus HIV/AIDS terjadi selama tahun 2011. Dalam mengatasi penderita, Pemprov DKI sampai sekarang telah menyediakan 32 rumah sakit dan 19 puskesmas di ibu kota yang dilengkapi pelayanan HIV/AIDS.
Gubernur Fauzi Bowo menambahkan, dalam penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, namun dibutuhkan pula partisipasi masyarakat, termasuk para sukarelawan dari lingkungan lembaga swadya masyarakat (LSM).
Warga Jakarta kepada VOA mengatakan, mereka memperoleh banyak informasi terkait penanggulangan HIV/AIDS dari para petugas kesehatan pemerintah dan aktivis LSM . Beberapa warga yang lain mengatakan wilayahnya belum tersentuh penyuluhan mengenai HIV/AIDS dari petugas pemerintah.
Lestari (33 tahun), seorang ibu rumah tangga warga Pancoran Jakarta Selatan mengatakan ikut prihatin dengan hal ini dan menyayangkan tidak adanya petugas penyuluhan pencegahan HIV/AIDS di wilayahnya. Demikian juga Mukhtar (27 tahun) , warga Benhil Jakarta Pusat.“Pemerintah belum serius dalam pencegahan HIV/AIDS, salah satunya upaya pencegahan dengan peningkatan pembekalan kepada generasi muda, tentang tindakan yang menjurus atau beresiko terjangkit HIV/AIDS," kata Mukhtar.
Laporan riset terbaru para petugas kesehatan Pemprov DKI menyebutkan tingkat pengetahuan remaja Jakarta terhadap penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS, terbukti masih tergolong rendah. Para petugas kesehatan mengatakan, perkembangan teknologi informasi di Ibukota yang melebihi daerah lain di tanah air tidak terlalu berdampak positif dalam pendistribusiaan informasi mengenai pencegahan HIV/AIDS di kalangan generasi muda.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hanya sekitar 22 persen remaja antara usia 15-24 tahun yang paham tentang bahaya HIV/AIDS. Data Pemprov DKI menyebutkan, angka kematian pada tahun 2011 mencapai 234 jiwa, sementara angka kumulatif kasus HIV/AIDS di ibu kota sejak 1987 hingga 2011 mencapai 11.205 kasus, lebih 1.000 penderita meniggal dunia. 70 persen korban meninggal merupakan pengguna narkotika dengan jarum suntik.
KPA DKI Jakarta menyatakan, sampai sekarang jumlah kasus yang muncul di ibukota meningkat, disebabkan besarnya partisipasi masyarakat untuk melaporkan kasus HIV/AIDS dan mau berobat. Dari lebih 2500 kasus, petugas kesehatan mencatat 1.273 kasus HIV dan 1.332 kasus AIDS.
Para praktisi kesehatan mengatakan, pihak Pemprov DKI perlu meningkatkan kemitraan strategis dengan lembaga-lembaga formal dan non formal agar efektif melakukan sosialisasi terkait pencegahan HIV/AIDS. Menurut para praktisi, Pemprov DKI dapat merangkul organisasi keagamaan dan organisasi kepemudaan untuk melakukan sosialisasi, terutama terhadap warga yang beresiko tinggi terhadap HIV/AIDS, sehingga warga tersentuh informasi dan bisa merubah perilaku mereka dalam menjalankan pola hidup yang lebih sehat.
Salah satu tantangan terberat penanggulangan HIV/AIDS menurut para pakar adalah kendala stigmatisasi terhadap penderita. Badan PBB untuk Penanggulangan AIDS (UNAIDS) mendefiniskan stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV merupakan aspek negatif yang diberikan pada seorang penderita, sehingga sering diperlakukan tidak wajar dan tidak adil oleh lingkungannya.
Stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang terinfeksi HIV bisa datang dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, sekolah, serta lingkungan komunitas lainnya.
“Selain sosialisasi yang kita berikan, kita juga berikan tempat pengobatan yang mudah dicapai penderita, terutama di puskesmas kecamatan kita di DKI sudah ada alternatif pengobatan. Ini yang menyebabkan mereka (penderita) melapor, sehingga kita punya datanya bertambah,” demikian ungkap Gubernur Fauzi Bowo dalam Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2012, di Tugu Raden Ajeng Kartini, Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (9/6).
Gubernur Fauzi Bowo mengakui, DKI Jakarta salah satu provinsi dengan penderita HIV/AIDS yang cukup tinggi setelah Papua. ”(Tercatat ada) sebelas ribu lebih penderita HIV dan AIDS. Saya prihatin (akan jumlah ini), namun disisi lain, kita berhasil merubah stigma. Yang dulu ditutup-tutupi, sekarang tidak. Sekarang orang mencari pengobatan, dia melapor dan kita berikan pengobatan itu,” kata Fauzi Bowo.
Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mencatat, sebanyak 2.605 kasus HIV/AIDS terjadi selama tahun 2011. Dalam mengatasi penderita, Pemprov DKI sampai sekarang telah menyediakan 32 rumah sakit dan 19 puskesmas di ibu kota yang dilengkapi pelayanan HIV/AIDS.
Gubernur Fauzi Bowo menambahkan, dalam penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, namun dibutuhkan pula partisipasi masyarakat, termasuk para sukarelawan dari lingkungan lembaga swadya masyarakat (LSM).
Warga Jakarta kepada VOA mengatakan, mereka memperoleh banyak informasi terkait penanggulangan HIV/AIDS dari para petugas kesehatan pemerintah dan aktivis LSM . Beberapa warga yang lain mengatakan wilayahnya belum tersentuh penyuluhan mengenai HIV/AIDS dari petugas pemerintah.
Lestari (33 tahun), seorang ibu rumah tangga warga Pancoran Jakarta Selatan mengatakan ikut prihatin dengan hal ini dan menyayangkan tidak adanya petugas penyuluhan pencegahan HIV/AIDS di wilayahnya. Demikian juga Mukhtar (27 tahun) , warga Benhil Jakarta Pusat.“Pemerintah belum serius dalam pencegahan HIV/AIDS, salah satunya upaya pencegahan dengan peningkatan pembekalan kepada generasi muda, tentang tindakan yang menjurus atau beresiko terjangkit HIV/AIDS," kata Mukhtar.
Laporan riset terbaru para petugas kesehatan Pemprov DKI menyebutkan tingkat pengetahuan remaja Jakarta terhadap penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS, terbukti masih tergolong rendah. Para petugas kesehatan mengatakan, perkembangan teknologi informasi di Ibukota yang melebihi daerah lain di tanah air tidak terlalu berdampak positif dalam pendistribusiaan informasi mengenai pencegahan HIV/AIDS di kalangan generasi muda.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hanya sekitar 22 persen remaja antara usia 15-24 tahun yang paham tentang bahaya HIV/AIDS. Data Pemprov DKI menyebutkan, angka kematian pada tahun 2011 mencapai 234 jiwa, sementara angka kumulatif kasus HIV/AIDS di ibu kota sejak 1987 hingga 2011 mencapai 11.205 kasus, lebih 1.000 penderita meniggal dunia. 70 persen korban meninggal merupakan pengguna narkotika dengan jarum suntik.
KPA DKI Jakarta menyatakan, sampai sekarang jumlah kasus yang muncul di ibukota meningkat, disebabkan besarnya partisipasi masyarakat untuk melaporkan kasus HIV/AIDS dan mau berobat. Dari lebih 2500 kasus, petugas kesehatan mencatat 1.273 kasus HIV dan 1.332 kasus AIDS.
Para praktisi kesehatan mengatakan, pihak Pemprov DKI perlu meningkatkan kemitraan strategis dengan lembaga-lembaga formal dan non formal agar efektif melakukan sosialisasi terkait pencegahan HIV/AIDS. Menurut para praktisi, Pemprov DKI dapat merangkul organisasi keagamaan dan organisasi kepemudaan untuk melakukan sosialisasi, terutama terhadap warga yang beresiko tinggi terhadap HIV/AIDS, sehingga warga tersentuh informasi dan bisa merubah perilaku mereka dalam menjalankan pola hidup yang lebih sehat.
Salah satu tantangan terberat penanggulangan HIV/AIDS menurut para pakar adalah kendala stigmatisasi terhadap penderita. Badan PBB untuk Penanggulangan AIDS (UNAIDS) mendefiniskan stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV merupakan aspek negatif yang diberikan pada seorang penderita, sehingga sering diperlakukan tidak wajar dan tidak adil oleh lingkungannya.
Stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang terinfeksi HIV bisa datang dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, sekolah, serta lingkungan komunitas lainnya.