Dokter di Rumah Sakit Umum Pusat dr Sarjito Yogyakarta, dr Kristia Hermawan M Kes Sp. A, menyebut bahwa pada derajat gangguan ginjal tertentu, pasien sebenarnya dapat disembuhkan.
“Biasanya kalau kita bisa mengidentifikasi pasien itu dalam derajat ringan, kemudian ada penanganan suportif untuk mengatasi gagal ginjal akutnya, itu luarannya akan baik,” tegas dia.
“Hanya saja, untuk kasus-kasus yang akhir-akhir ini kita dapatkan, kenapa disebut sebagai tidak khas, itu karena pasien dalam beberapa hari sudah jatuh dalam fase gagal ginjal yang derajat berat,” tambahnya terkait kasus yang disebut sebagai gangguan ginjal akut.
Data dari Kementerian Kesehatan hingga 18 Oktober 2022 menunjukkan, jumlah kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak mencapai 206, tersebar di 20 provinsi. Kematian yang tercatat mencapai 99, atau 48 persen dari total kasus. Sementara di Yogyakarta, RSUP dr Sardjito sejak Januari hingga Oktober 2022 menerima 13 kasus dengan enam anak tercatat meninggal dunia, tiga anak sembuh, empat anak masih menjalani rawat inap, di mana satu anak dalam perawatan intensif, tiga lainnya dalam perawatan biasa.
Dari 13 kasus tersebut, enam anak berasal dari DI Yogyakarta dan sisanya dari wilayah sekitarnya. Lebih rinci, untuk enam kasus di Yogyakarta, dua anak memiliki riwayat berkaitan COVID-19, dan empat anak berikutnya belum diketahui sebabnya. Peningkatan kasus terjadi sejak September 2022
Dalam kasus terakhir, di mana tingkat kematian pasien hampir 50 persen, ada kondisi yang menyulitkan dokter melakukan perawatan. Hermawan menyebut, anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut menemui kesulitan dalam mengeluarkan cairan tubuh. Padahal, kata Hermawan, pasien gagal ginjal membutuhkan berbagai macam obat dan cairan untuk menetralkan zat toksin dalam tubuhnya. Dalam beberapa kasus, juga didapatkan gangguan perdarahan yang menyebabkan petugas kesehatan kesulitan memasang alat cuci darah, atau alat perawatan lainnya.
Hermawan memberi contoh pasien yang datang ke rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal derajat berat.
“Ginjal itu fungsinya mengeluarkan racun dalam tubuh, ureum. Kalau kadar ureum tinggi, akan mengganggu fungsi sel-sel pembekuan darah. Kemudian kalau disertai kondisi peradangan yang berat, akan ada aktivasi dari gangguan pembekuan darah yang terjadi pada pasien,” paparnya.
Jika gangguan pembekuan darah terjadi, kata Hermawan, dokter akan kesulitan melakukan manuver.
“Kita mau masang alat, mau melakukan tindakan cuci darah, itu yang jadi agak sulit untuk mengerjakan. Karena harus menimbang-nimbang, ini lebih berat ke pendarahannya atau lebih kita mau buang racunnya segera,” kata Hermawan menjelaskan dilema yang dihadapi.
Dokter di RSUP dr Sardjito juga belum dapat menyimpulkan penyebab utama dari gangguan ginjal akut ini. Dibutuhkan data yang luas, yang bisa diperoleh dengan kerja sama dengan layanan kesehatan lain, dalam koordinasi Kementerian Kesehatan.
Data sementara, pasien rata-rata mengalami gagal ginjal, disertai masalah pernafasan dan peningkatan enzim di liver atau hati. Dalam salah satu kasus, ada bayi berusia tujuh bulan yang menurut orangtuanya belum menerima asupan apapun, selain ASI atau makanan pengganti yang dibuat sendiri. Data-data semacam ini harus dikaji dengan teliti dan hati-hati.
Fenomena terakhir juga mengejutkan bagi dr Retno Palupi B Med. Sc., M. Epid,. M Sc,. Sp A(K), doktes spesialis anak konsultan di RSUP dr Sardjito.
“Kami melihat polanya pada anak-anak di bawah lima tahun, yang sebelumnya mungkin hanya beberapa kasus, hanya satu atau dua kasus per bulan, namun kita beberapa bulan terakhir ini mendapati lebih dari itu,” kata Retno.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Kemenkes terus melakukan penelusuran. Proses ini diyakini memang membutuhkan waktu untuk betul-betul mengkonfirmasi apa yang sebenarnya menjadi penyebab gangguan ginjal akut.
Para dokter, lanjut Retno, memang telah mengetahui tentang gangguan ginjal dari studi kepustakaan yang bisa dilakukan. Namun, dalam kasus-kasus terakhir yang menimpa mayoritas anak-anak, situasinya jauh lebih kompleks.
“Tidak mudah diatasi pada anak-anak, karena mereka kecil dan memang membutuhkan recovery yang lebih panjang,” ujarnya.
Beberapa anak memang terbukti sembuh dari gangguan ginjal akut. Namun kehati-hatian dalam menyimpulkan tetap dibutuhkan, sementara segala upaya tetap dilakukan untuk merawat mereka yang masih sakit.
Butuh Kehati-hatian
Meskipun muncul keresahan terkait fenomena gangguan ginjal akut ini, pakar farmakologi UGM, Prof Zullies Ikawati menegaskan keterkaitan gagal ginjal akut dengan konsumsi obat berbentuk sirup, terutama yang mengandung parasetamol masih butuh pembuktian.
“Ini masih jadi misteri. Kejadian gagal ginjal akut kok baru ada belakangan ini, padahal penggunaan sirup obat parasetamol sudah cukup lama dan aman digunakan,” papar Zullies.
BPOM sendiri mengumumkan lima obat sirup yang dinyatakan mengandung cemaran ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG). Zullies menjelaskan, EG dan DEG merupakan satu cemaran yang bisa dijumpai pada bahan baku pelarut pada obat sirup. Parasetamol dan banyak obat lainnya yang sukar larut dalam air, memerlukan bahan tambahan untuk pelarutan.
“Biasanya di Indonesia digunakan propilen glikol atau gliserin. Bahan baku propilen glikol atau gliserin ini dimungkinan mengandung cemaran zat tersebut,” tambahnya.
Guru besar farmasi UGM ini merinci sejumlah faktor yang bisa menyebabkan gangguan ginjal akut. Misalnya, infeksi tertentu seperti leptospirosis atau infeksi bakteri E.coli. Namun kajian sementara Kemenkes menyebutkan bahwa penapisan terhadap virus dan bakteri telah dilakukan dan belum terbukti kuat sebagai penyebab.
Karena tidak banyak yang bisa dilakukan, untuk sementara ini masyarakat disarankan tenang dan mengikuti saran lembaga resmi seperti Kemenkes, BPOM, atau asosiasi dokter.
“Apabila anak-anak mengalami sakit demam, batuk, maupun pilek sebaiknya mengkonsumsi obat parasetamol dalam bentuk puyer, kapsul, tablet, suppositoria atau bentuk lainnya,” urai Zullies.
Zullies mengakui, keputusan ini sangat dilematis, sebab, obat sirop banyak digunakan untuk anak-anak yang belum bisa menelan obat tablet atau kapsul. Selain itu, penghentian obat sirup akan berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis yang harus mengonsumsi obat rutin berbentuk sirop.
“Misalnya, anak dengan epilepsi yang harus minum obat rutin, maka ketika obatnya dihentikan atau diubah bentuknya bisa saja menjadikan kejangnya tidak terkontrol,” tandasnya. [ns/ab]
Forum