Menurut rancangan dokumen pernyataan ketua ASEAN untuk konferensi tingkat tinggi mendatang di Kuala Lumpur, pandangan organisasi itu mengenai sengketa di Laut China Selatan tidak akan banyak berubah dari tahun lalu.
Pernyataan yang diberikan kepada VOA oleh pejabat kawasan yang tak mau disebut namanya itu menyerukan lagi perdamaian, keamanan, kepatuhan pada hukum internasional dan kebebasan navigasi di perairan yang sibuk tersebut. Pernyataan itu mengulangi lagi seruan asosiasi bangsa-bangsa Asia Tenggara itu mengenai pedoman perilaku yang mengikat secara hukum.
Beberapa negara ASEAN memiliki klaim tumpang tindih atas laut itu dengan China, terutama Vietnam dan Filipina. Banyak negara di ASEAN menganjurkan solusi multi-pihak atas masalah ini, tetapi China menyatakan hanya akan terlibat pembicaraan bilateral mengenai sengketa teritorial.
Malaysia, yang kini menjadi ketua ASEAN, akan menjadi tuan rumah KTT tahunan organisasi itu di Kuala Lumpur pada 21 November, tetapi biasanya banyak keputusan yang diumumkan dalam KTT itu sudah disepakati sebelumnya.
Kung Phoak, ketua Institut Kajian Strategis Kamboja, berpendapat butuh waktu lama untuk mengatasi sengketa Laut China Selatan, sehingga kode etik sementara bisa membantu meredakan ketegangan.
Namun, John Ciorciari, profesor kebijakan publik pada University of Michigan, mengatakan "konsensus berdasar diplomasi" ASEAN menyulitkannya menyepakati sikap bersama mengenai Laut China Selatan.
Tindakan frontal China di Laut China Selatan, terutama membangun pulau buatan dalam beberapa bulan ini, menuai kecaman banyak pihak. Namun, beberapa anggota ASEAN, terutama Kamboja, tampak enggan mengecam China secara langsung atau ikut menyerukan pembicaraan multilateral mengenai perselisihan itu.
Selain Vietnam dan Filipina, China juga bersaing klaim Laut Cina Selatan dengan Brunei dan Malaysia. [ka]