Sebuah perusahaan obat Indonesia yang sirup obat batuknya termasuk di antara produk yang dikaitkan dengan kematian lebih dari 200 anak pada tahun lalu menggunakan bahan-bahan dengan konsentrasi racun hingga 99 persen dalam 70 batch obat tersebut, kata jaksa berdasarkan sebuah dokumen pengadilan.
Tuduhan terhadap produsen obat Afi Farma itu diajukan di pengadilan di Kediri, Jawa Timur, tempat perusahaan tersebut berkantor pusat, dan Reuters adalah pihak pertama yang melaporkan tuduhan bahwa perusahaan tersebut menggunakan bahan-bahan yang sangat beracun.
Kasus kriminal ini mencuat seiring berkembangnya upaya di berbagai penjuru dunia untuk memperketat pengawasan rantai pasokan obat-obatan setelah gelombang keracunan terkait dengan sirup obat batuk yang terkontaminasi menewaskan puluhan anak di negara-negara seperti Gambia dan Uzbekistan.
Dua batch propilen glikol, bahan dasar utama obat-obatan berbentuk sirup yang diterima Afi Farma dari Oktober 2021 hingga Februari 2022 dan digunakan dalam obat batuknya, mengandung 96 persen hingga 99 persen zat beracun, etilen glikol (EG), kata lembar dakwaan tak bertanggal terkait kasus tersebut sebagaimana ditunjukkan jaksa di pengadilan.
Ketika ditanya siapa yang melakukan pengujian dan bagaimana caranya, jaksa Ikhsan Nasrulloh mengatakan kepada Reuters bahwa hal itu dilakukan polisi tahun lalu.
Pengacara Afi Farma, Reza Wendra Prayogo, mengatakan kepada Reuters bahwa tidak ada tuduhan sengaja meracuni yang diajukan terhadap perusahaan tersebut, dan menambahkan bahwa badan pengawas obat Indonesia, BPOM, tidak mewajibkan produsen obat untuk melakukan pengujian ketat terhadap bahan-bahannya.
Ia mengatakan peraturan BPOM tahun 2018 mengizinkan produsen obat untuk menggunakan tes yang dilakukan oleh pemasok bahan baku, dan mengharuskan mereka hanya melakukan “tes identifikasi” yang tidak melibatkan pengujian toksisitas.
BPOM tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters.
Afi Farma adalah satu dari empat perusahaan yang didakwa oleh polisi Indonesia dalam penyelidikan pasokan sirup obat batuk tercemar, dan kasusnya akan disidangkan pada 18 Oktober.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan batas aman untuk racun EG dan dietilen glikol (DEG) yang diketahui tidak lebih dari 0,10%, berdasarkan standar global.
Kementerian Kesehatan Indonesia juga mengadopsi batasan tersebut dalam pedoman standar obat tahun 2020.
EG digunakan antara lain dalam pembuatan cairan senyawa antibeku dan penghilang lapisan es untuk mobil. Jika tertelan, EG dapat menyebabkan cedera ginjal akut.
Baik EG maupun DEG dapat menggantikan propilen glikol oleh produsen yang tidak bermoral mengingat harganya yang murah, kata beberapa pakar obat kepada Reuters.
Izin Afi Farma untuk membuat obat dicabut akhir tahun lalu dan produknya ditarik dari peredaran karena melanggar aturan produksi.
Empat pejabat perusahaan, termasuk kepala eksekutif dan manajer kendali mutu, telah ditangkap dan didakwa melakukan kelalaian karena “secara sadar” tidak menguji bahan-bahan tersebut, meskipun memiliki sarana dan tanggung jawab untuk melakukannya, menurut lembar dakwaan.
Sebaliknya mereka mengandalkan sertifikat yang diberikan oleh pemasok mengenai kualitas dan keamanan produk. Kini jaksa menuntut hukuman penjara hingga sembilan tahun bagi para pejabat tersebut, menurut lembar dakwaan.
Afi Farma membantah tudingan tersebut melalui kuasa hukumnya.
BPOM sebelumnya mengatakan beberapa pihak dalam rantai pasokan obat telah mengeksploitasi kesenjangan dalam aturan keamanan dan produsen obat untuk tidak melakukan pemeriksaan yang memadai terhadap bahan baku yang digunakan.
Kontaminasi ini telah memicu penyelidikan kriminal, tuntutan hukum, dan peningkatan pengawasan peraturan di seluruh dunia.
Bulan lalu Reuters melaporkan bahwa beberapa produsen obat India yang terlibat tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah membeli bahan-bahan berkualitas farmasi atau menguji obat-obatan mereka untuk mengetahui ada tidaknya racun. [ab/lt]
Forum