Tautan-tautan Akses

DPR Bantah Ingin Lemahkan KPK


Diskusi mengenai revisi Undang-undang Komis Pemberantasan Korupsi di Jakarta, 7 September 2019
Diskusi mengenai revisi Undang-undang Komis Pemberantasan Korupsi di Jakarta, 7 September 2019

Dewan Perwakilan Rakyat membantah ingin melemahkan KPK melalui revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Revisi Undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah memicu polemik. Para aktivis dan akademisi menganggap langkah ini untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (7/9), anggota Komisi hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Arteria Dahlan, menegaskan lembaganya tidak pernah berniat untuk mengamputasi kewenangan KPK atau melemahkan lembaga ini. Ia mengatakan salah satu artikel dalam draf revisi Undang-undang KPK menyatakan kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif, tidak menjadikan KPK kerdil atau tidak independen. Padahal, lanjutnya, artikel revisi itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Arteria menambahkan putusan terakhir Mahkamah Konstitusi menyatakan KPK itu merupakan bagian dari rumpun eksekutif.

"KPK itu independen sepanjang melaksanakan tugas, kewenangan. Independen sepanjang melaksanakan tupoksi. Di luar itu, dia harus paham, tahu diri. Tahu dirinya gimana? Dia adalah lembaga penegak hukum pembantu presiden di bidang penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ini yang kita coba ciptakan seperti itu," kata Arteria.

Arteria mengungkapkan sejumlah penambahan dalam draf revisi yang memperkuat KPK.

Dalam pasal 10 a draf revisi Undang-undang KPK, lanjut Arteria, ada penambahan yang menyatakan KPK dapat mengambil alih penyidikan kalau eksekutif, yudikatif, atau legislatif bermain-main dalam sebuah perkara hukum. Kemudian jika sebuah perkara hukum terdapat unsur korupsi, maka KPK bisa langsung mengambil alih kasus bersangkutan.

Draf revisi juga menyatakan kalau tersangka korupsi bukan aparat penegak hukum, bukan penyelenggara negara atau nilai kerugian negara kurang dari Rp 1 miliar, maka KPK tidak berhak menangani kasus tersebut. Arteria menekankan usul ini karena DPR ingin KPK fokus menangani kasus-kasus merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.

Perubahan lainnya adalah KPK bisa memerintahkan kepada atasan seorang tersangka korupsi supaya memberhentikan sementara yang bersangkutan selama masih menjalani proses hukum.

Arteria mengatakan DPR memperbolehkan KPK merekrut penyidik independen tapi harus memiliki pengalaman dalam hal penyelidikan dan penyidikan, minimum dua tahun. Selain itu, penyidik independen juga harus sekolah dan lulus di bidang penyelidikan dan penyidikan.

Menurut Arteria, Dewan Pengawas dibutuhkan untuk mengawasi kinerja KPK Selain itu KPK harus membuat laporan tahunan yang bertujuan untuk menilai apakah KPK berhasil atau tidak berdasarkan parameter-parameter yang sudah disusun sejak 2014.

Sementara itu mantan ketua KPK, Abraham Samad, menegaskan semua penyidik independen yang direkrut oleh KPK sudah memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni sudah berpengalaman minimum dua tahun dan sudah lulus dari sekolah penyelidikan dan penyidikan.

Menurutnya salah besar kalau ada pihak yang menganggap KPK tidak mengutamakan pencegahan. Dia menyebutkan 80 persen kekuatan KPK itu diarahkan pada proses pencegahan. Sedangkan di bidang penindakan, KPK hanya memiliki 200 orang yang bertugas sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut.

"KPK itu sudah bekerja secara maksimal melakukan agenda-agenda pencegahan. Misalnya perbaikan sistem di semua kementerian, kelembagaan, pemerintahan kabupaten/kota dan provinsi, itu berjalan terus," ujar Abraham.

Menurut peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi pada 2016, KPK berwenang mengangkat penyidik independen. Bahkan Mahkamah Konstitusi sempat merujuk pelajaran terbaik dari komisi pemberantasan korupsi di Singapura dan Hong Kong, di mana penyidik mereka bukan berasal dari institusi tertentu.

Kurnia mengingatkan agar tidak terjadi lagi insiden sewaktu Abraham Samad memimpin KPK pada periode 2011-2015, ketika Polri menarik puluhannya penyidik karena KPK menyidik dugaan korupsi di salah satu tubuh kepolisian. Ketika itu keputusan Polri didasarkan pada alasan agar tidak ada loyalitas ganda.

Dia berharap Presiden Jokowi, yang sebentar lagi mengakhiri periode pertamanya, tidak meninggalkan warisan buruk dengan menyetujui revisi Undang-undang KPK.

Menurut Kurnia, wajar jika aktivis dan masyarakat pantas tidak yakin bahwa DPR memang ingin menguatkan peran KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia, karena pernah ada sejumlah rekam jejak buruk DPR ketika mengajukan revisi UU.

DPR bahkan pernah berusaha membatasi usia KPK hanya 12 tahun. Ketika pengajuan hak angket, salah satu anggota DPR juga pernah mengusulkan pembekuan anggaran KPK.

"Ini kan sebenarnya yang menimbulkan kecurigaan, baik itu mungkin katakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pun beberapa organisasi dan masyarakat luas. Keinginan DPR selalu menguatkan KPK kontra dengan tindakan-tindakan DPR selama ini. Menjadi sulit kita untuk percaya DPR akan menguatkan KPK," ujar Kurnia.

Terkait sepuluh nama calon pimpinan KPK yang telah doloskan oleh panitia seleksi, Kurnia menilai hal itu tidak mencerminkan komitmen Presiden Joko Widodo dalam isu pemberantsan korupsi. Alasannya, setelah dua hari menerima sepuluh nama tersebut, Presiden Joko Widodo langsung menyerahkan nama sepuluh calon pimpinan KPK itu ke DPR tanpa meminta masukan dari masyarakat.

Ditambahkannya, Presiden Joko Widodo hanya meminta masukan dari intel kejaksaan, kepolisian, dan militer. Hal ini menunjukkan Presiden Joko Widodo telah bertindak tergesa-gesa dan tidak mau mendengar masukan dari masyarakat. Termasuk masuk dari mantan ibu negara Sinta Nuriyah Wahid, istri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang sudah memperingatkan ada persoalan serius dalam proses seleksi calon pimpinan KPK. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG