Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk sementara menyepakati pembatasan usia minimal pernikahan bagi lelaki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan disebut masih berkukuh dengan batas usia yang lebih rendah.
Hal itu telah diputuskan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I Panitia Kerja Revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bersama pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kedua pihak setuju untuk merevisi secara terbatas Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Perkawinan terkait batas usia minimal pernikahan.
Pasal tersebut saat ini memuat ketentuan batas usia minimal menikah bagi lelaki adalah 19 tahun dan batas umur terendah untuk wanita adalah 16 tahun.
Dalam jumpa pers yang digelar kompleks parlemen di Jakarta, Jumat (13/9), anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Andi Yuliani Paris, menjelaskan DPR dan pemerintah sepakat menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi lelaki dan perempuan di angka 19 tahun. Hal ini mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017.
"DPR melakukan perintah dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil judicial review untuk mengubah pasal 7 tentang umur pernikahan, dengan alasan terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, tidak memberi kesempatan sekolah kepada perempuan, dan sebagainya," kata Andi Yuliani.
Dari data statistik, lanjutnya, dalam konteks usia minimal menikah yang paling bagus adalah Provinsi DKI Jakarta dan yang paling buruk yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Menurutnya, di Sulawesi Barat rata-rata anak perempuan itu menikah berada di umur 12 tahun. Sementara di Sulawesi Selatan rata-rata anak perempuan menikah di usia 14 tahun.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, memuji kesepakatan yang dicapai antara DPR dan pemerintah itu. Namun dia mengingatkan revisi ini harus jufa memperkuat pasal mengenai dispensasi sehingga tidak menjadi pasal karet.
Dia meminta kewenangan untuk memberikan dispensasi tidak diberikan kepada lembaga lain kecuali pengadilan. Sehingga nantinya tidak akan ada yang namanya nikah bawah tangan atau nikah oleh kantor wilayah Kementerian Agama.
Menurut Dian, dispensasi diberikan bukan hanya berdasarkan prasangka orang tua, namun memang karena keadaan mendesak dan disertai dengan bukti-bukti.
Ditambahkan Dian pula, bahwa ada satu ayat tambahan yang sangat penting, yaitu pengadilan wajib mendengarkan kehendak dari kedua pihak. Tambahan ayat tersebut, lanjutnya, sangat progresif karena memberikan hak partisipasi anak dan untuk mencegah kawin paksa.
"Karena kasusnya anak-anak itu tidak tahu kalau mau dikawinkan. Tahu-tahu orang tuanya sudah mengurus dispensasi, jadi harus berhenti sekolah lalu kawin. Jadi (ayat tambahan tersebut) tidak hanya mengakhiri perkawinan anak, tapi juga mengakhiri perkawinan yang bersifat paksa," kata Dian.
Peneliti dari Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia mengungkapkan, dari hasil riset terlihat yang paling banyak meminta dispensasi adalah orang tua perempuan yang anaknya belum mencapai usia minimal 16 tahun buat menikah. Alasannya, selain karena hamil sebelum menikah, juga untuk membayar hutang.
Genoveva meminta aturan mengenai dispensasi diperketat supaya hakim tidak serampangan dalam memberikan dispensasi bagi anak di bawah umur untuk menikah. Hasil penelitian ICJR menunjukkan hampir 97 persen permohonan dispensasi dikabulkan oleh hakim. Sedangkan permohonan yang ditolak adalah disebabkan oleh kesalahan administrasi. [fw/ah]