Polisi Karanganyar menangkap seorang pelaksana proyek yang menjadi tersangka penebangan pepohonan di kawasan hutan lereng Gunung Lawu. Kapolres Karanganyar, AKBP Leganek Mawardi, mengatakan, "Ya, berkaitan dengan pengrusakan hutan yang terjadi di lereng Gunung Lawu. Video penebangan itu sempat viral di media sosial. Disinyalir ada beberapa pohon yang tumbang dan kondisi tanah tergerus. Lokasi penebangan berada di hutan yang akan dijadikan kawasan wisata alam dan kuliner. Pengelola sudah mengajukan izin dan sedang dalam proses, namun pelaksana proyek pembangunan melakukan penebangan terlebih dahulu. Ada sekitar delapan batang pohon pinus tingginya 10 meter dirobohkan dengan ekskavator dan dipotong menjadi 18 bagian dengan gergaji mesin."
Barang bukti yang disita polisi antara lain mesin berat berupa ekskavator, gergaji mesin dan gelondongan batang pepohonan yang ditebang. Tersangka kasus tersebut, Suwarto mengaku melakukan penebangan pepohonan di lereng gunung Lawu untuk lokasi proyek lahan parkir kawasan wisata.
"Rencana untuk lahan parkir, kan mau dibangun tempat wisata. Pertimbangan saya sebagai pelaksana proyek di lapangan, kan sekarang lagi cuaca ekstrem, empat pekerja saya ada di lokasi. Kanan kiri tanah dikeruk pakai backhoe, saya lihat pepohonan itu bisa mengenai para pekerja saya. Pepohonan itu saya robohkan dulu pakai backhoe. Saya takut, pepohonan itu roboh sendiri dan melukai atau membahayakan para pekerja saya di lokasi," kata Suwarto.
Tersangka dijerat UU 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Ancaman hukumannya minimal setahun dan maksimal lima tahun penjara dengan denda setengah miliar hingga 2,5 miliar rupiah.
Video penebangan pepohonan di lereng Lawu tersebut sempat viral di media sosial dan menimbulkan berbagai reaksi masyarakat. Mereka khawatir kawasan hutan di Gunung Lawu yang beralih fungsi menjadi lahan wisata atau permukiman akan menimbulkan bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang.
Lereng di gunung yang menjadi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur itu pun tak lagi semua berwarna hijau oleh rimbunnya pepohonan dan hutan. Kini warna coklat menunjukkan tanah di antara hijaunya lereng, tanda adanya pembukaan lahan. Petisi upaya penyelamatan Gunung Lawu di media sosial pun bergaung dan menembus sekitar 3.000 tanda tangan.
Gunung Lawu menjadi primadona wisata alam, jalur pendakian, hingga potensi gas bumi. Sungai di kawasan tersebut juga menjadi sumber Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo.
Tak hanya di Karanganyar, sebuah perusahaan tekstil di Sukoharjo diprotes ribuan warga karena menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Aksi demonstrasi terus bergulir, mempertanyakan proses izin Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan tersebut.
Faktor perizinan lingkungan menjadi sorotan saat pengajuan pendirian sebuah tempat usaha atau perusahaan. Apalagi saat ini pemerintah berencana menerbitkan UU Omnibus Law terkait investasi dan penciptaan lapangan kerja. Pakar hukum dari Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Doktor Sentot Sudarwanto mengatakan Omnibus Law tidak mencerminkan semangat pemerintah dalam penegakan hukum lingkungan termasuk pemangkasan perizinan AMDAL. Sentot mengungkapkan pelanggaran terkait perizinan AMDAL karena pemerintah daerah belum melakukannya secara baik dan maksimal.
"Di salah satu klausul Draf RUU Omnibus Law disebutkan kegiatan usaha dengan risiko rendah hanya mendaftarkan ,sedangkan usaha risiko menengah dan tinggi menggunakan standar. Saya melihat meski dalam substansinya ingin mengatur dan memberi kemudahan untuk Usaha Mikro Kecil, tapi dari kacamata hukum, setiap usaha apapun itu harus berizin. Jadi tidak hanya usaha berisiko tinggi saja," jelas Sentot.
Sentot menjelaskan, bahwa dalam konsep Omnibus Law, yang mengajukan izin itu hanya usaha berisiko tinggi saja. Apakah itu risiko kesehatan, risiko keselamatan, dan risiko lingkungan. Peraturan Lingkungan Hidup selama ini sudah ada pijakan yuridis, UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Di dalamnya sudah ada 14 item instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan LH. Bagi saya sudah ideal. Hanya masalahnya aturan ini seringkali belum diimplementasikan secara baik dan maksimal oleh stake holder yang bertanggung jawab. AMDAL masih sangat relevan sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan," imbuh Sentot.
Sementara itu pakar ekonomi lingkungan dari UNS Solo, Doktor Suryanto mengapresiasi langkah pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam draf RUU Omnibus Law. Namun Suryanto mengingatkan pemerintah supaya tidak mengorbankan lingkungan demi kepentingan ekonomi.
"Dengan Omnibus Law ini, harapannya peluang usaha dipermudah, investasi gampang dan cepat, penciptaan lapangan kerja semakin luas. Teori ekonomi memang demikian. Pertumbuhan ekonomi bisa dipacu dengan menyedot investasi masuk, dari dalam atau luar negeri. Yang menjadi masalah adalah bagaimana dampak investasi itu. Ternyata di berbagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi itu tidak semua pertumbuhan ekonomi yang ‘hijau’," jelas Suryanto.
"Justru masuk pertumbuhan ekonomi ‘coklat’ itu dicirikan oleh apa yang dicapai di statistik itu tinggi, tetapi di lapangan, kerusakan lingkungannya sangat parah. Artinya biaya perbaikan kerusakan lingkungan lebih besar daripada dampak nilai ekonomi yang digenjot secara besar besaran. Contohnya, deforestasi hutan di Indonesia juga menyumbang angka pertumbuhan ekonomi namun menyebabkan krisis ekologis berupa bencana alam banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, pembakaran hutan, dan lainnya,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menerbitkan draf RUU Omnibus Law, yang menyebutkan antara lain pemangkasan perizinan AMDAL untuk mendorong investasi. Selama ini pengajuan AMDAL membutuhkan waktu lama dan birokratis, bahkan marak indikasi suap dan korupsi untuk mempercepat mendapat izin AMDAL. Kadangkala, investasi yang sudah mendapat izin AMDAL pun melakukan pelanggaran berupa pencemaran dan pengrusakan lingkungan. [ys/uh]