Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), menjadi korban peretasan. Tak hanya itu, dia juga mendapat teror telepon dan ancaman doxing (penyebarluasan identitas pribadi di internet).
Semua itu terjadi sehari sebelum ia jadi pembicara dalam diskusi "Diskriminasi Rasial terhadap Papua” yang digelar unit kegiatan penerbitan mahasiswa (UKPM) Teknokra, Universitas Lampung (Unila), pada Kamis, 11 Juni.
Pengacara Lembaga Bantuan (LBH) Pers Rizky Yudha mengatakan, peristiwa bermula pada Rabu (10/6) malam saat Tantowi menerima pesan Whatsapp misterius. Pesan itu berisi tangkapan layar (screenshot) e-KTP atas nama Tantowi Anwari yang diikuti pesan intimidasi.
"Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers,” terangnya dalam pernyataan yang diterima VOA.
Tak lama, akun Grab miliknya diretas dan seseorang menggunakan akun tersebut untuk memesan makanan dan tumpangan secara fiktif. Pada saat yang bersamaan, Tantowi mulai menerima telepon dari nomor-nomor misterius berkode (021) hingga larut malam.
"Pada pukul 2.00 WIB, akun WA Tantowi sudah tidak dapat diakses. Serangan juga ditujukan kepada istrinya melalui WA sejak 01.51WIB hingga 07.26 WIB. Istri Tantowi mendapati bahwa saldo Gopay-nya dikuras habis dan terdapat transaksi tidak dikenal menggunakan fitur PayLater Gojek,” tambah Rizky.
Teror juga diterima oleh dua mahasiswa anggota UKPM Teknokra selaku penyelenggara diskusi. Akun media sosial mereka diretas dan akun GoFood mereka digunakan untuk memesan makanan secara fiktif.
Dua mahasiswa tersebut telah melapor ke Polda Lampung dengan pendampingan LBH Bandar Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung.
Selain Tantowi, diskusi tersebut menghadirkan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua, John Gobai dan juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta.
Rizky mengatakan, sebelum teror dan peretasan, pengurus Teknokra dipanggil pihak universitas.
"Pemanggilan ini terjadi setelah seseorang yang mengaku dari BIN (Badan Intelijen Negara) menanyakan perihal diskusi tentang Papua yang akan diselenggarakan. Teknokra sempat diminta untuk menunda diskusi tersebut,” tambahnya.
Pada hari pelaksanaan diskusi, acara yang ditayangkan dalam laman Youtube itu berjalan lancar. Namun bagian komentar dipenuhi komentar-komentar template yang sama persis dari huruf ke huruf, yang intinya menyangkal ada rasisme di Papua.
Diskusi Amnesty Juga Diteror
Kejadian serupa juga dialami para pembicara dalam diskusi “Papuan Lives Matter” yang digelar Amnesty International-Indonesia. Acara ini berlangsung pada Jumat (5/6), hanya enam hari sebelum diskusi Teknokra.
Dalam diskusi yang dilakukan tertutup lewat Zoom itu, tiga pembicara mendapatkan telepon dari nomor tidak dikenal secara terus menerus. Selain itu, muncul pula zoom-bombing berupa suara-suara berbahasa asing yang mengganggu para pembicara.
Dalam acara itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, harus mematikan handphone untuk menghentikan teror.
"Ini saya kasih tunjuk ya masih (telepon) seperti ini, dari tadi nggak berhenti, konstan,” jelasnya sambil menunjukkan telepon genggamnya kepada hadirin.
Sementara pembicara lainnya, Tigor Hutapea dari Pusaka Foundation, yang mengemukakan sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua, juga harus pindah ke laptop.
"Saya juga ditelepon nomor yang berbeda. Mohon waktu sebentar untuk pindah ke laptop,” ujarnya dalam diskusi.
Serupa, Yuliana S. Yabansabra dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, juga ditelepon nomor asing. Dia mengatakan ada pihak yang ingin menutupi kondisi Papua.
"Mereka tidak mau kita bicara, mereka tidak mau kita menyampaikan apa yang betul-betul terjadi di Papua," tandasnya.
12 Organisasi Minta Usut Tuntas
Belasan organisasi kebebasan berekspresi mencatat, serangan digital juga menyasar orang-orang yang mengangkat permasalahan di Papua. Misalnya peretasan akun media sosial atau Whatsapp kepada George Saa, Veronika Koman, dan dua anggota BEM UI.
Belasan organisasi tersebut--antara lain LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, dan LBH Jakarta--menegaskan, kebebasan untuk menyampaikan pendapat dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28F.
"Diskusi 'Diskriminasi Rasial terhadap Papua' #PapuanLivesMatter dan diskusi-diskusi kritis lainnya merupakan perwujudan kebebasan ekspresi dan berpendapat yang lumrah di negara demokrasi, serta merupakan hak dasar dan dilindungi konstitusi,” dalam pernyataan bersama sejumlah organisasi tersebut.
Mereka juga mengungkap ada kesamaan pola dari beberapa serangan digital itu.
“Mulai dari peretasan akun media sosial dan WhatsApp, telepon misterius menggunakan nomor internasional, pemesanan layanan ojek dan pesan antar online yang fiktif, dan lain-lain,” tambah pernyataan tersebut.
Karena itu, mereka mendesak kepolisian mengusut tuntas dugaan pelanggaran pidana doxing, peretasan, dan teror terhadap narasumber dan penyelenggara diskusi.
"Meminta seluruh pihak menghargai perbedaan pendapat dan menghormati pendapat orang lain yang disalurkan melalui diskusi publik yang sah,” tutup pernyataan itu. [rt/ft]