Militer Myanmar menangkap dua jurnalis situs berita online lokal, ungkap media itu pada Rabu (13/12). Penangkapan tersebut merupakan tindakan keras terbaru junta terhadap kebebasan pers sejak melancarkan kudeta hampir tiga tahun lalu.
Aung San Oo dan Myo Myint Oo, yang bekerja untuk situs berita Dawei Watch, ditangkap pada Senin (11/12) malam di rumah mereka di kota pesisir selatan Myeik, menurut postingan Facebook media itu.
Keduanya ditangkap tak lama setelah pulang dari persembunyian, kata editor outlet tersebut kepada kantor berita Associated Press. Editor itu menambahkan bahwa pasukan keamanan mengatakan kepada anggota keluarga bahwa kedua jurnalis ditangkap karena pemberitaan mereka.
Polisi menyita ponsel dan laptop dari para jurnalis dan anggota keluarga mereka. Keduanya ditahan di pusat interogasi, kata outlet tersebut.
Dalam pernyataan, Dawei Watch menyebut penangkapan tersebut ilegal dan menyerukan agar para jurnalis segera dibebaskan.
“Menulis berita bukanlah kejahatan,” kata pernyataan itu.
Penangkapan kedua jurnalis menggarisbawahi tindakan keras brutal yang dilakukan militer Myanmar terhadap jurnalis di negara tersebut sejak kudeta Februari 2021.
Hanya sedikit jurnalis yang terus beroperasi di Myanmar karena risiko keselamatan. Banyak dari mereka meninggalkan Myanmar dan melapor dari pengasingan, sementara lainnya berhenti melaporkan berita sama sekali.
Menurut Komisi Perlindungan Jurnalis, Myanmar termasuk negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis. Hingga Desember 2022, terakhir kali organisasi kebebasan pers itu melaporkan jumlah tersebut, 42 jurnalis dipenjara di Myanmar.
Selain pemenjaraan terhadap jurnalis, hampir 20.000 orang saat ini dipenjara di Myanmar karena menentang kudeta, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, dan lebih 4.200 orang telah dibunuh oleh junta dan afiliasinya sejak kudeta berlangsung. [ka/jm]
VOA Burma berkontribusi pada laporan ini. Sejumlah informasi lainnya diambil dari The Associated Press.
Forum