Duta Besar Italia untuk Republik Demokratik Kongo telah tewas dalam serangan terhadap konvoi PBB di dekat Goma, kota di bagian timur Kongo.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) menyatakan sedikitnya dua orang lainnya tewas dan beberapa lagi cedera dalam serangan hari Senin (22/2) yang menewaskan Duta Besar Italia Luca Attanasio.
Seorang juru bicara PBB mengatakan kepada VOA, dua korban lainnya adalah seorang warga Italia dan seorang warga Kongo yang menjadi supir WFP. Juru bicara itu mengatakan serangan tersebut menarget dua kendaraan WFP yang sedang dalam perjalanan sekitar 25 kilometer sebelah timur laut Goma.
Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.
Sebuah pernyataan WFP menyebutkan delegasi itu sedang dalam perjalanan dari Goma untuk mengunjungi program pemberian makan di sekolah oleh WFP di Rutshuru ketika insiden tersebut berlangsung. Disebutkan pula bahwa serangan “terjadi di jalan yang sebelumnya telah dinyatakan aman untuk dilalui tanpa pengawalan keamanan.”
Reuters, mengutip Virunga National Park, melaporkan konvoi itu diserang di dekat kota Kanyamahoro, sebagai bagian dari upaya penculikan.
Menteri Luar Negeri Italia, Luigi Di Maio telah mengeluarkan pernyataan yang menyampaikan “ kecemasan besar dan kesedihan luar biasa” atas kematian rekan-rekannya. “Latar belakang serangan brutal ini belum diketahui dan tidak akan ada upaya yang terlewat untuk mengetahui apa yang terjadi,” kata Di Maio.
Kawasan timur Kongo yang kaya mineral telah menjadi medan pertempuran bagi banyak kelompok bersenjata selama lebih dari dua dekade, sejak militan yang terlibat dalam genosida tahun 1994 di Rwanda melarikan diri melalui perbatasan yang mudah disusupi. Pasukan pemelihara perdamaian PBB telah berupaya untuk memulihkan perdamaian di kawasan selama lebih dari satu dekade.
Kelompok yang paling aktif sekarang ini tampaknya adalah Allied Democratic Forces, kelompok pemberontak Uganda yang berusaha menegakkan hukum syariah. Kelompok itu tampaknya telah meningkatkan serangan-serangannya dalam beberapa bulan ini, dengan merebut desa-desa, membunuh warga sipil, merekrut tentara anak-anak dan bentrok dengan militer Kongo.
Daerah yang prasarananya buruk itu pada tiga tahun terakhir ini juga menghadapi wabah Ebola, yang terbesar dalam sejarah Kongo. [uh/ab]