Lebih dari 500 warga dan diaspora Indonesia di Amerika menjadi korban dugaan penipuan investasi dengan pola skema piramida atau dikenal luas sebagai ponzi scheme.
“Awalnya saya membaca informasi di media sosial, dari Facebook perkumpulan Hibachi dan Pondok Gaul. Nama yang menawarkan program ini Immanuel Jaya. Saya tergiur karena program itu menawarkan bunga 18 persen per bulan. Jadi pada 19 Oktober 2019 saya menelpon orang itu, saya masih ingat sekali,” demikian ujar Gunawan Widjaja, salah seorang diaspora Indonesia di New York ketika diwawancarai VOA awal Juni lalu.
Lain lagi dengan Steven Caraballo, mahasiswa New York University yang mengenal skema ini dari istri dan teman-teman kerja istrinya. Ia dijanjikan mendapat keuntungan dari bunga 15 persen ditambah keuntungan tambahan jika merujuk orang-orang lain sebesar 2 persen.
“Saya dijanjikan mendapat 15% dan bonus rujukan 2% dari apa yang saya investasikan. Untuk pertama kali, saya menerima bunga dari empat ribu dolar yang saya berikan. Saya yakin ini cara mereka meraih kepercayaan kami. Jadi pertama kali saya mendapat uang yang saya berikan ditambah bunganya. Tetapi ketika saya mulai menanamkan lebih banyak uang, saya tidak mendapat apapun. Total kerugian saya 55 ribu dolar.”
Korban Diperkirakan Lebih dari 500 Orang
Gunawan Widjaja dan Steven Caraballo bukan satu-satunya korban dugaan penipuan investasi dengan pola skema piramida atau ponzi scheme ini. Menurut Atase Kepolisian di Kedutaan Besar Republik Indonesia KBRI di Washington DC, Ary Laksmana Widjaja, hingga saat ini diperkirakan sudah lebih dari 500 warga dan diaspora Indonesia yang menjadi korban.
“Yang sudah melapor memang belum banyak, tapi kami perkirakan ada lebih dari 500 orang yang menjadi korban... Kami sudah menyampaikan informasi awal pada penegak hukum di Amerika, dalam hal ini FBI (Biro Penyidik Federal), juga mengkoordinasikan laporan-laporan yang masuk.”
Bermula pada 2019
Skema ponzi adalah suatu bentuk penipuan investasi di mana klien dijanjikan untung besar tanpa risiko, dengan memusatkan seluruh energi pada upaya menarik klien baru untuk berinvestasi. Sebagaimana Investopedia pada April 2021 lalu, skema ini pada dasarnya merupakan perputaran uang anggotanya sendiri dengan mengandalkan aliran investasi baru yang konstan untuk dapat tetap memberikan pengembalian pada investor yang lebih dulu. Jika tidak ada lairan dana baru maka skema ini selesai.
Kasus yang melibatkan ratusan warga dan diaspora Indonesia kali ini bermula pada tahun 2019, ketika puluhan orang menanamkan investasi keuangan pada dua perusahaan yaitu Global Travel dan Easy Transfer yang dikelola diaspora Indonesia di New York. Para investor ini dijanjikan mendapat keuntungan dari bunga antara 12 – 73 persen.
Hampir seluruh investasi dilakukan dalam bentuk uang tunai dan tidak melalui institusi perbankan atau perjanjian resmi dari notaris. Kalau pun ada yang diberi surat perjanjian, sebagaimana Gunawan Widjaja dan Steven Caraballo tadi, tidak ada rincian tentang identitas perusahaan atau jenis investasinya.
Beberapa dokumen yang diperoleh VOA hanya menyebut nama program. Alamat yang digunakan pun hanya sebuah gedung apartemen tanpa merujuk unit tertentu. Perjanjian investasi pada setiap nasabah pun berbeda-beda.
“Saya punya kontrak atau surat perjanjian dengan Immanuel. Tetapi tidak menyebutkan dengan akurat saham, atau properti, atau lokasi investasinya. Mereka berjanji akan mengembalikan uang saya ditambah keuntungan bunganya, dan mereka bahkan mengatakan dalam skenario terburuk, saya akan mendapat kembali uang yang pertama kali saya tanamkan. Tetapi pada kenyataannya?... Saya telah melaporkan (pada pihak berwenang) dan saya berharap kedua pemerintahan – Indonesia dan Amerika – segera terlibat. Kami tidak ingin orang-orang ini kabur begitu saja.”
Setidaknya dua orang kakak beradik diaspora Indonesia yang diduga sebagai pelaku skema ponzi ini menghilang segera setelah kasus ini mencuat di beberapa negara bagian. Meskipun demikian keduanya diduga masih tinggal di kawasan Elmhurst, New York. VOA telah berulang kali menghubungi keduanya melalui telepon dan meninggalkan pesan, tetapi tidak mendapat jawaban apapun.
Sebagian korban telah melapor pada kepolisian setempat dan FBI. Seperti William Kusanto.
“Iya saya sudah lapor polisi. Laporannya ia minta data-data kita orang dan kejadiannya gimana. Lapor ke FBI tapi FBI-nya lewat telepon. Mereka minta data-data aku dan pelaku.”
Korban Diserukan Melapor, Tak Perlu Takut Status Keimigrasian
Atase Kepolisian di KBRI, Ary Laksamana Widjaja, berulang kali menyerukan kepada seluruh warga dan diaspora Indonesia yang menjadi korban untuk berani melapor kepada pihak berwenang, baik polisi setempat maupun FBI.
“Katakanlah ada yang melapor di New York, Los Angeles, Houston, Chicago, Tennessee dan sebagainya; mungkin satu dua orang dengan kerugian 5-10 ribu dolar per orang. Tampaknya kecil. Tapi jika yang melaporkan banyak maka akan tampak bahwa secara keseluruhan kasus ini besar dan aparat akan bertindak lebih cepat untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh.”
Ary mengatakan ia memahami keengganan warga dan diaspora Indonesia melapor karena sebagian ada yang tidak memiliki dokumen resmi.
“Kita sekarang mendorong mereka untuk melapor dan jangan takut dengan masalah status keimigrasian mereka. Tidak ada kaitan antara permasalahan hukum – pidana maupun perdata – dengan keimigrasin.
VOA: Apakah ada jaminan bahwa jika mereka melapor, mereka pada akhirnya tidak dideportasi karena masalah keimigrasian?
"Saya tidak dapat menjanjikan hal itu, tetapi sudah berulang kali disampaikan oleh para penegak hukum di Amerika, dan juga pihak berwenang beberapa negara bagian yang dikenal sebagai 'sanctuary states', bahwa mereka tidak akan mencampuradukkan antara masalah hukum pidana/perdata ini dengan status keimigrasian. Lain halnya jika mereka yang menjadi pelaku, jika ditangkap dan diketahui overstay maka akan segera dideportasi. Namun sebagai korban, posisi mereka lain.”
Diwawancarai secara terpisah, penasehat hukum KBRI Harun Calehr mengatakan dalam kasus skema ponzi kali ini, kedua perusahaan yang disebut-sebut para korban ini diduga menyalahgunakan wewenang perusahaan dan melanggar UU Penanaman Modal Amerika. Untuk itu pihaknya telah berkoordinasi dengan US Securities and Exchange Commissions atau Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika semacam, Bappepam di Indonesia.
“Kemarin alhamdulilah sudah ada Zoom meeting antara SEC dan beberapa nasabah sehingga mereka lebih bisa memahami skema pidana penipuan ini bagaimana, juga modus operandinya. Kalau nanti tepat, kita bisa tindaklanjuti.”
Skema Ponzi, Skema Investasi Bodong
Dugaan penipuan dengan skema ponzi kali ini merupakan salah satu dari beberapa skema yang pernah ada di Amerika. Sebelumnya pada Februari lalu SEC Amerika mengungkap investasi berskema ponzi oleh penasehat investasi GPB Capital Holdings yang menelan korban lebih dari 17.000 investor ritel. Total kerugian diperkirakan mencapai 1,7 miliar dolar.
Pemilik dan CEO GPB Capital Holdings David Gentile, pemilik agen penempatan GPB Capital Ascendant Jeffry Schneider dan mantan mitra GPB Capital Jeffrey Lash dituduh menggunakan dana investor untuk membayar distribusi bulanan pada investor lama.
Pada tahun 2008 juga pernah terungkap kasus penipuan dengan skema ponzi terbesar di Amerika oleh Bernard Madoff. Total kerugian dari penipuan yang dilakukannya mencapai 50 miliar dolar, dengan korban bervariasi, mulai dai bank-bank besar seperti HSBC dan yayasan-yayasan amal, hingga investor kecil. Madoff meninggal di penjara 14 April lalu. [em/hj]