Upaya global untuk membuat vaksin COVID-19 mendapat dorongan dengan munculnya berita mengenai vaksin lain yang berpotensi efektif.
Perusahaan farmasi AS Moderna, Senin (16/11) mengumumkan bahwa vaksin eksperimentalnya 94,5 persen efektif melawan virus, berdasarkan hasil pendahuluan dari uji klinis tahap ketiga sekaligus tahap terakhirnya. Perusahaan farmasi raksasa berbasis di Massachusetts itu mengembangkan vaksin tersebut berkolaborasi dengan para peneliti di badan pemerintah AS, Institut Nasional bagi Alergi dan Penyakit Menular.
Moderna kini memiliki vaksin COVID-19 potensial kedua yang mencapai tingkat efektivitas lebih dari 90 persen, hanya sepekan setelah perusahaan berbasis di AS, Pfizer, dan BioNTech yang berbasis di Jerman, menjadi yang pertama mengumumkan terobosan penting itu.
Kabar dari Moderna ini juga muncul pada hari yang sama bahwa satu unit perusahaan farmasi raksasa AS Johnson & Johnson akan memulai uji klinis ketiga sekaligus terakhir terhadap sebuah vaksin potensial di Inggris. Janssen Pharmaceuticals akan melibatkan 6.000 sukarelawan yang menerima vaksin eksperimental yang menggunakan dua dosis, yang pada akhirnya meluas ke 30 ribu partisipan di berbagai negara lainnya, termasuk Belgia, Kolombia, Perancis, Jerman, Spanyol dan AS.
Vaksin virus corona eksperimental lainnya yang dikembangkan Johnson & Johnson sekarang ini sedang dalam uji coba global Fase 3 yang luas di Argentina, Brasil, Meksiko, Afrika Selatan dan AS. Perusahaan itu sempat menghentikan sebentar uji vaksin satu dosis bulan lalu setelah seorang partisipan didiagnosis dengan penyakit yang tidak dijelaskan.
Sementara itu, orang-orang berusia lebih muda yang pulih dari COVID-19 tetapi terus mengalami berbagai gejala, mengalami kerusakan pada berbagai organ tubuh, sebut penelitian baru dari Inggris.
Pengamatan terhadap 200 lebih pasien mengungkapkan bahwa hampir 70 persen mengalami kerusakan pada satu atau lebih organ hingga selama empat bulan setelah infeksi awal mereka. Kerusakan itu juga dapat terjadi pada jantung dan paru-paru.
Temuan-temuan ini lebih jauh menjelaskan mengenai kecenderungan gelaja-gejala “COVID yang lama” yang dialami para korban COVID-19, termasuk di antaranya kelelahan, sesak napas, nyeri dan apa yang disebut sebagai “kabut otak.” Ini juga bahkan ditemukan pada mereka yang dianggap berisiko rendah terinfeksi. Lebih dari 60 ribu orang di Inggris diyakini menderita gejala-gejala “COVID yang lama.”
Tetapi para peneliti memperingatkan bahwa tak seorang pasien pun yang diperiksa sebelum diagnosis awal COVID-19 mereka, yang artinya sebagian mungkin telah memiliki penyakit sebelumnya.
Hingga Senin, tercatat lebih dari 54,4 juta kasus COVID-19, sebut Johns Hopkins Coronavirus Resource Center, termasuk lebih 1,3 juta orang di antaranya yang meninggal. AS dan beberapa negara di Eropa, termasuk Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, mengalami lonjakan kasus baru, mendorong pemerintah nasional dan bahkan lokal untuk memberlakukan seperangkat restriksi baru untuk menahan penyebaran penyakit itu. [uh/ab]