Pendiri dan ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Hendri Saparini memperkirakan konsumsi atau belanja masyarakat akan bertambah ratusan triliun rupiah, karena penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Kalau menurut kami sekitar Rp294,5 triliun, yakni dari yang privat, caleg, capres itu sekitar Rp258 triliun, dan 2024 akan ada tambahan Rp36,5 triliun dari APBN,” ungkapnya dalam CORE Economic Outlook 2024 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Selasa (12/12).
Meski begitu perputaran uang tersebut diyakini tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian tanah air pada tahun depan. Pasalnya, perkiraan nilai belanja pemilu ini hanya setara dengan 4,2 persen dari total konsumsi rumah tangga.
“Dampaknya ke ekonomi baik, itu konsumsi sebagian besarnya. Inilah yang akan berpengaruh kepada ekonomi kita. Tapi tidak banyak, kalau ke konsumsi hanya 4,2 persen. Tetapi ini akan menggerakkan ekonomi,” jelasnya.
Hendri juga mengatakan dampak pesta demokrasi ini terhadap tren pertumbuhan investasi di 2024 akan berbeda dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Menurutnya, pertumbuhan realisasi investasi terutama di sektor primer (tambang) dan sektor sekunder, seperti logam dasar dan petrokimia sejak 2019, terbilang tinggi.
“Diprediksi investasi sektor di atas akan berlanjut hingga akhir masa pemerintahan pada Oktober 2024,” tuturnya.
Hal Senada juga disampaikan kalangan pengusaha. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut memang ada berbagai peluang bisnis yang tercipta dari perhelatan pemilu 2024 ini. Namun, katanya, sumbangsihnya terhadap perekonomian sangat kecil.
Shinta mencontohkan beberapa peluang bisnis yang tercipta dari pemilu 2024 ini di antaranya jual-beli merchandise, konsultan politik, jasa periklanan, dan transportasi.
"Sebenarnya meskipun ini (pemilu) dalam business opportunity ini peningkatannya itu sangat kecil, jasa konsultan politik 1,8 persen (dari PDB), merchandise atribut pemilu cuma 1,1 persen, akomodasi makanan dan minuman cuma 2,5 persen ini sangat kecil, transportasi enam persen, iklan dan lain lain cuma empat persen," ungkap Shinta.
Shinta memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun depan masih akan bergantung kepada sektor-sektor yang selama ini telah berkontribusi besar kepada produk domestik bruto (PDB) seperti pengolahan, manufaktur, pertanian, perdagangan, pertambangan dan konstruksi yang masing-masing menyumbang kurang lebih sepuluh persen.
“Jadi dengan kata lain kita tidak bisa mengandalkan pemilu,” imbuhnya.
Menurutnya prediksi ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya kalangan pengusaha menghadapi kondisi yang tidak mudah pada tahun ini. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Apindo terhadap kurang lebih 2000 pengusaha, sekitar 72 persen mengalami pertumbuhan penjualan yang lambat, dan sekitar 42 persen mengalami stagnasi dalam bisnis mereka.
Mayoritas dari mereka, kata Shinta, juga menyatakan bahwa kondisi nilai tukar rupiah dan suku bunga yang berlaku saat ini tidak kompetitif dan cenderung menjadi beban ekspansi usaha.
“Meskipun terdapat indikasi pelemahan kuat terhadap konsumsi pada 2024, 58 persen pelaku usaha Indonesia tetap memiliki rencana melakukan ekspansi usaha. Jadi walaupun dengan kondisi ini tetap cukup optimistis untuk mau melakukan ekspansi usaha,” kata Shinta.
Dari survei ini juga diketahui bahwa pelaku usaha mengeluhkan tata kelola pemerintahan yang kerap tidak transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Lantas apa yang dibutuhkan kalangan pengusaha? Shinta menyebut mereka membutuhkan kepastian hukum; pemilu yang damai, adil dan jujur; serta persaingan politik yang sehat.
“Dunia usaha berharap, aktivitas demokrasi berlangsung dengan lancar dan memberikan dampak pelemahan yang minimal terhadap certainty dan confidence untuk berusaha dan berinvestasi di Indonesia,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum