Corona membuat situasi ekonomi memburuk. Seperti efek domino, kesulitan ekonomi memberi pengaruh ke banyak pihak, termasuk penganut radikalisme.
Jack Harun, mantan narapidana terorisme (Napiter) paham betul bagaimana efek domino itu berjalan. Dalam diskusi daring Perdamaian di Masa Pandemi yang diadakan ruangobrol.id pada Selasa 9 Juni 2020, Jack berbagi cerita bagaimana mantan Napiter terdampak pandemi.
“Kami ingin menciptakan dan menjaga suhu. Suhu temen-temen itu bisa naik bisa turun. Dalam kondisi COVID 19 ini, cenderung karena pekerjaannya berkurang, secara ekonomi terganggu, sehingga suhu dari temen-temen naik lagi,” kata Jack Harun.
Yang disebut Jack sebagai menjaga suhu adalah membentengi kemungkinan mantan Napiter kembali melakukan aksi melawan hukum. Caranya, dengan memberikan bantuan ekonomi untuk menjamin kebutuhan mereka. turunnya pendapatan atau hilangnya pekerjaan, adalah salah satu pemantik yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi pandemi, faktor semacam itu mudah sekali muncul.
Yayasan Gema Salam
Jack bergerak di wilayah Solo dan sekitarnya melalui bendera Yayasan Gema Salam. Uniknya, pembina yayasan ini adalah Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, seorang nonmuslim.
Yayasan Gema Salam sendiri mulai dirintis sejak 2017. Ketika itu, FX Hadi Rudyatmo sebagai Wali Kota mengundang para mantan Napiter berbuka puasa di rumah dinasnya. Undangan itu sendiri, kata Jack, sempat menimbulkan prokontra di kalangan mantan Napiter. Namun, mereka akhirnya setuju untuk datang dengan pertimbangan, bahwa undangan itu datang dari seorang Wali Kota, sebagai pemimpin wilayah bukan sebagai pribadi.
Dalam acara buka bersama itulah, perbincangan mengenai sebuah wadah bagi para mantan Napiter di kawasan Solo Raya mulai mengemuka. Jack, yang sejak tahun 2000-an bergerak di Ambon dan terlibat dalam Bom Bali I, setuju membentuk Yayasan Gema Salam. FX Hadi Rudyatmo mendukung penuh pendirian yayasan ini.
Berbicara dalam diskusi yang sama, Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo mengaku, kunci pendekatan yang dia lakukan terhadap para Napiter adalah memanusiakan manusia.
“Setelah ada Yayasan Gema Salam kita ajak bicara, apa sebenarnya yang bisa mempengaruhi seseorang berbuat itu dan sebagainya. Menurut saya, kuncinya harus nguwongke uwong, memanusiakan manusia,” kata Rudyatmo.
Rudyatmo juga menjelaskan peran lebih jauh dari pemerintah daerah yang masuk hingga ke berbagai sisi kehidupan Napiter. Setelah seorang Napiter pulang dari Lembaga Pemasyarakatan (LP), dipikirkan tentang tempat tinggal yang bisa dia pakai. Apakah perlu diperbaiki atau diberi fasilitas sewa di rumah susun milik pemerintah. Setelah itu, dibantu juga untuk memperoleh pekerjaan bagi mereka agar mampu melanjutkan kehidupan.
Khusus di masa pandemi ini, Rudyatmo juga memberikan perhatian lebih bekerja sama dengan Yayasan Gema Salam. Prinsip pertama yang dipakai adalah, kebutuhan pokok mereka harus tercukupi. Karena itu, bagi Napiter yang namanya tidak masuk dalam daftar penerima bantuan pemerintah, diupayakan jalur berbeda. Sebagai bentuk memanusiakan manusia, Rudyatmo bahkan meminta Jack mengantar setiap bantuan langsung ke rumah Napiter.
Tindak Proaktif Penting
Pengamat terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail menyebut mereka yang memiliki paham radikal di Indonesia sebenarnya sangat kecil. Menurut data pemerintah, sekitar 700-1.000 orang yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dalam ISIS. Jumlah narapidana terorisme total sekitar 1.200 orang. Noor Huda bahkan bercanda, di Indonesia kemungkinan orang meninggal karena diabetes lebih besar dibanding aksi teroris.
“Dari sisi jumlah kecil. Kenapa terorisme menjadi penting untuk dibicarakan, karena mereka sering membajak agama, dan di Indonesia yang mayoritas Islam kemudian kena,” kata Noor Huda.
Faktor semacam itulah, lanjutnya yang menjadikan isu terorisme layak untuk diangkat. Noor Huda juga menggarisbawahi, upaya mengajak mantan Napiter untuk kembali bermasyarakat bukan jalan mudah. Mengambil contoh Jack Harun sendiri, Noor Huda menjelaskan sebagai manusia, dia tidak lahir menjadi teroris. Jack bahkan kemudian diterima kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta yang membuktikan kemampuan intelektualnya.
Jadi, lanjut Noor Huda, ada proses seseorang menjadi teroris, dan ada pula proses seseorang meninggalkan wilayah itu. Dalam proses kembali bermasyarakat, menurut Noor Huda, komunikasi menjadi faktor yang sangat penting. Karena itulah, Noor Huda mengapreasiasi kebijakan Hadi Rudyatmo di Solo, yang melakukan komunikasi panjang.
“Pihak negara yang proaktif memberi kesempatan kedua itu jauh lebih menguntungkan daripada memojokkan. Dan tantangan Pak Rudyatmo itu tidak ringan. Di Jawa Tengah itu jumlah Napiter 150 orang, lebih separuhnya ada di Solo Raya, 90 orang,” tambah Noor Huda.
Komunikasi menjadi penting karena pendekatan membutuhkan proses. Mengutip data yang ada, kata Noor Huda, dari sekitar 900 Napiter yang dibebaskan, lebih 80-an orang kembali melakukan aksi. Biaya yang dihabiskan negara untuk melakukan pemantauan kepada sekitar sembilan persen mantan Napiter itu tidak sedikit.
Toleransi Tanpa Kompromi Akidah
Pendeta Petrus Budi Setyawan yang melayani jemaat di Singapura juga berbagai pandangan dalam diskusi ini. Menyangkut hubungan antarmanusia, perbedaan kata Budi bukan esensi yang harus diperdebatkan.
“Sepanjang itu tidak mengganggu akidah yang kita yakini, kenapa tidak? Saya ajari jemaah saya untuk toleransi tanpa harus kompromi akidah yang kita yakini,” kata Budi.
Budi juga mengaku sering mengingatkan jemaatnya jika berniat untuk membentuk kelompok-kelompok tertentu berdasar agama mereka padahal mereka ada di komitas yang beragam. Pilihan semacam itu patut dipertanyakan, apabila niatnya untuk membicarakan kekurangan masing-masing kelompok.
Budi memberi contoh, dalam skala negara, peraturan yang ketat di Singapura sebenarnya juga mampu membangun hubungan antaragama dengan lebih baik. Jika tempat ibadah melanggar aturan yang sudah ditetapkan, pihak kepolisian berperan untuk mengingatkan. [ns/ab]