Pengusaha minuman tradisional instan di Yogyakarta Mukhlis Hari Nugroho memilih tepat waktu mengirimkan SPT ke kantor pajak sebelum tenggat pada 31 Maret 2023. Ditanya soal kasus di Direktorat Jenderal Pajak, dia mengaku paham. Namun bagi usahawan seperti dia, tidak ada gunanya mengambil risiko terkait pajak.
“Ya, gimana lagi. Sebagai warga negara kan harus taat bayar pajak. Kalau telat atau enggak bayar kan kena denda. Jadi, mau ada kasus apapun di kantor pajak, kita tetap taat bayar,” ujarnya kepada VOA.
Sebagai warga negara, batinnya cukup geram dan terganggu oleh pemberitaan terkait sebagian pejabat pajak yang tidak melaporkan penghasilan dan pajaknya dengan benar, atau bahkan tidak membayar pajak sebagaimana seharusnya. Namun, ketua Indonesia Islamic Business Forum DI Yogyakarta ini mengaku ikhlas karena sejauh yang dia pahami, pajak dipakai untuk menggerakkan pembangunan.
“Soal kasus korupsi, ya mungkin di tempat lain juga ada. Di kementerian lain juga ada. Kita pahamlah. Tapi kan memang tidak ada cara lain, kalau soal pajak, selain membayar. Kalau sudah bermasalah, nanti tidak konsentrasi menjalankan usaha,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Makanan (Aspika) Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini.
Tidak sekedar taat, di lingkungan penggerak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Mukhlis bahkan aktif mengajak pelaku usaha untuk taat urusan pajak. Wajahnya sempat muncul sekilas, dalam iklan yang dibuat oleh Kantor Pajak DI Yogyakarta terkait kesadaran membayar pajak di lingkungan UMKM.
Rakyat Tetap Bayar
Sikap Mukhlis menjadi contoh kecil, bagaimana nasib sektor pajak di tengah sorotan masyarakat saat ini. Meski didera kasus, Kementerian Keuangan boleh lega. Setidaknya, karena tidak bisa menghindar, rakyat tetap taat bayar pajak. Riset yang dilakukan lembaga analis big data Continumm setidaknya bisa menjadi gambaran.
Analis data Continumm, Maisie Sagita memaparkan hasil riset mereka dalam diskusi yang diselenggarakan INDEF bertema “Taat Bayar Pajak di Era Fenomena Pejabat Pamer Harta,” Selasa (28/3). Lembaga ini menyisir data periode 17 Februari hingga 23 Maret 2023, dan mengumpulkan sekitar 680 ribu perbincangan di Twitter dari 460 ribu user, dengan 80 persen user berasal dari Jawa.
“Kami menemukan bahwa meski rakyat ini banyak mengeluh, bukan berarti rakyat itu malas bayar pajak. Dari 680 ribu perbincangan, hanya 13 ribu yang menyuarakan ajakan untuk tidak bayar pajak,” papar Maisie.
Data Continumm mencatat dalam periode itu ada tiga puncak perbincangan terkait pajak. Puncak pertama pada 24 Maret ketika kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat pajak terkuak. Warganet kemudian menyoroti kinerja Dirjen Pajak dan Kementerian Keuangan, dan narasi berkembang hingga muncul polemik transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun, yang menjadi puncak kedua. Sedangkan puncak perbincangan ketiga terjadi pada 8 Maret dan seterusnya ketika makin banyak warganet mengeluhkan perlakukan petugas pajak dan bea cukai yang mereka terima.
“Dari data-data tersebut, kami mencoba menganalisa respons masyarakat terhadap kondisi perpajakan Indonesia. Yang kami dapatkan, hampir semua masyarakat di internet mengutarakan keluhan terkait pajak dan perilaku pegawai pajak,” tandas Maisie.
Keluhan ini menimbulkan sentimen dan persepsi negatif terhadap Kementerian Keuangan secara umum.
Dari sisi keluhan, big data mencatat bahwa 62,7 persen cuitan warganet berisi keluhan atau cerita bagaimana kerja keras dan gaji mereka terkuras untuk membayar pajak dalam berbagai bentuk. Sementara 21,6 persen warganet resah dengan kelakuan pegawai dan pejabat pemerintahan.
Ada tiga isu paling disorot publik di linimasa Twitter dalam periode yang sama. Pertama, pejabat pamer harta dengan 78 ribu cuitan. Kedua, indikasi pencucian uang dengan 20 ribu cuitan. Ketiga pengalaman menghadapi petugas pajak sebanyak 14 ribu cuitan. Warganet rata-rata juga berpendapat, bahwa perilaku pejabat pamer harta tidak etis. Mereka merasa, membayar pajak hanya untuk membiayai kehidupan mewah para pejabat.
Terkait isu pencucian uang lebih dari Rp300 triliun, warganet justru percaya masih ada banyak transaksi lain yang harus dibuka. Warganet juga mengeluhkan Kemenkeu dan PPATK, yang seharusnya tanggap, justru mengaku tidak memahami transaksi semacam itu. “Publik jadi merasa, kalau Kemenkeu ini seperti tutup mata akan transaksi mencurigakan yang terjadi atau yang dilakukan oleh pegawainya sendiri,” beber Maisie.
Meski narasi atau ajakan tidak membayar pajak tidak begitu besar, Continumm menyarankan Kemenkeu mengevaluasi diri.
Tidak Bisa Menghindar
Faisal Basri, ekonom senior INDEF memastikan bahwa masyarakat Indonesia jauh dari upaya pembangkangan publik terkait pajak. Faisal menilai rakyat Indonesia pemaaf, dan ini terbukti dari data bahwa hanya dua persen warganet yang menyuarakan mogok bayar pajak.
“Jadi, sekalipun warganet itu kritis, dari 600 ribuan perbincangan, ngeluh macam-macam, tapi tidak sampai pada muara untuk tidak bayar pajak. Warganet luar biasa, rakyat Indonesia luar biasa, ngeluh tapi tetap melaksanakan kewajibannya,” kata Faisal seolah menyindir.
Faktor kedua, kata Faisal, sekalipun sejumlah orang menyatakan diri enggan membayar pajak, mereka tidak bisa mengelak kewajiban itu. Pajak yang dimaksud bermakna luas, dari pajak itu sendiri, cukai, pungutan, perdagangan internasional, pajak bumi bangunan, bea masuk, bea keluar dan sebagainya.
“Negara punya kemampuan luar biasa untuk memaksa warganya membayar pajak, membayar berbagai macam pungutan perpajakan, sekalipun mereka tidak menghendakinya. Sekalipun mereka tidak ikhlas. Sekalipun mereka bertekad untuk menghindari bayar pajak, tapi tidak bisa,” tegas Faisal.
Pajak memang tidak bisa dihindari. Faisal memberi contoh, eksportir tidak bisa berbisnis jika bea keluar barang tidak dibayar. Pembeli telepon genggam dari luar negeri, otomatis harus membayar pajak dan melakukan registrasi agar bisa dipakai di dalam negeri. Semua pembelian ritel, mulai dari air mineral, buku, tiket pesawat, tiket kereta api, dan barang apapun tidak bisa menghindar dari pajak 11 persen.
Menurut Faisal, “Negara tahu sekali, caranya membuat orang mau melakukan yang sebenarnya mereka tidak ingin melakukannya. Itulah politik. Politik adalah state of the art untuk memaksa rakyat melakukan sesuatu yang tidak dia tidak dia sukai. Bayar pajak tidak disukai oleh siapapun, tapi negara punya kemampuan memaksa.”
Karena itulah, kata Faisal, meski dengan perasaan mangkel di hati, rakyat tetap membayar pajak menjelang akhir Maret ini, termasuk Faisal Basri sendiri.
Pelaporan Relatif Lancar
Data di Kemenkeu menyebut, hingga 13 Maret 2023, Direktorat Jenderal Pajak telah menerima 7,1 juta SPT PPh. Rinciannya adalah 6,9 juta SPT orang pribadi dan 217 ribu SPT badan, dengan mayoritas disampaikan secara daring.
“Saya berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang terus menjaga dan meningkatkan kepatuhan, dan kita akan bantu untuk pelayanan sebaik mungkin,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (14/3).
Pemerintah menetapkan, jatuh tempo pelaporan SPT adalah 31 Maret 2023 untuk wajib pajak orang pribadi dan 30 April 2023 untuk wajib pajak badan. [ns/em]
Forum