VOA: Rakyat Indonesia kelihatan semakin percaya diri dan dewasa mengikuti pilpres langsung tahun ini, tetapi ada suatu fenomena baru yang terjadi yaitu sikap Prabowo Subianto, salah satu calon presiden, yang menolak hasil rekapitulasi pemilu dan menarik diri dari proses pemilu hanya beberapa jam. Melihat kedua hal itu, bagaimana Anda melihat pelaksanaan demokrasi di Indonesia?
Prof. Emmerson: Saya seorang yang sangat optimistis melihat kondisi politik di Indonesia, meski ada kontroversi dan ketegangan yang terjadi terkait sikap Prabowo Subianto yang menolak hasil pemilu karena menilai telah dicurangi. Saya mempertaruhkan penilaian saya tetapi memang ada indikasi kuat bahwa Jokowi akan tetap dilantik sebagai presiden berikutnya dan Prabowo Subianto akan terisolasi jika tetap berkeras menolak hasil pemilu. Saya tetap yakin Jokowi tetap memiliki legitimasi sebagai pemenang pemilu yang jujur dan adil, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa melihat luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya pemilih, hampir tidak mungkin pemilu berlangsung 100% secara jujur dan adil. Tetapi melihat selisih suara diantara Jokowi dan Prabowo sekitar 8 juta suara, sulit membayangkan bahwa 8 juta suara itu merupakan hasil rekayasa atau dicurangi.
Tetapi saya juga ingin melihat pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam jangka waktu yang lebih panjang, bukan sekedar berdasarkan pemilu kali ini saja. Ada penilaian bahwa demokrasi dianggap berhasil jika sudah menjadi satu-satunya aturan main di negara tersebut. Atau bahasa yang suka saya pakai adalah “the only game in town”. Tentu saja maksudnya ini lebih dari sekedar “permainan” atau “aturan”. Tetapi dengan kata lain tidak ada alternatif yang punya legitimasi di negara tersebut, dalam hal ini Indonesia, selain demokrasi. Melihat konteks itu, menarik mencermati pidato-pidato Prabowo Subianto semasa kampanye yang menunjukkan bahwa ia tidak suka pada pemilu langsung, baik di tingkat propinsi maupun di tingkat nasional. Ini bisa diterjemahkan bahwa Prabowo tidak punya komitmen pada demokrasi. Jadi ada baiknya ia tidak terpilih sebagai presiden baru Indonesia karena bisa-bisa ia justru membuat demokrasi mundur. Tetapi kembali ke pertanyaan awal soal “apakah demokrasi sudah menjadi satu-satunya aturan permainan di Indonesia dan apakah sudah diinstitusionalisasikan,” maka ada sejumlah kriteria yang bisa dijadikan ukuran. Salah satu di antaranya adalah sudah berapa banyak pemilu yang diselenggarakan. Awal tahun ini Indonesia menyelenggarakan pemilu langsung keempat yaitu pemilu legislatif dan disusul dengan pemilu presiden langsung ketiga pada tanggal 9 Juli lalu. Memang belum ada batas perolehan suara (threshold) yang ditetapkan untuk menunjukkan “wah memang demokrasi sudah dilembagakan di Indonesia,” tetapi pertambahan jumlah pemilih setiap tahun ini menunjukkan bahwa demokrasi memang mulai menjadi kisah sukses di Indonesia. Demokrasi menjadi cara efektif serah terima kekuasaan secara damai dalam sistem politik. Kriteria kedua adalah transparansi. Dalam hal ini kita patut memuji rakyat Indonesia, termasuk pemilih-pemilih muda, yang sudah semakin dewasa. Bahkan dalam pemilu kali ini mereka menggunakan teknologi lewat berbagai media sosial, quick counts, exit polls, dll. Untuk menghindari terjadinya kecurangan dan pelanggaran pemilu, mereka tidak segan-segan melakukan cek dan recheck lewat berbagai media sosial tadi. Ini suatu hal yang menggembirakan terlebih melihat semangat kaum muda Indonesia yang kelak mewarisi masa depan Indonesia. Kriteria ketiga adalah legitimasi dan ini sangat penting. Indonesia cukup beruntung karena dalam dua pilpres langsung sebelumnya, Yudhoyono memenangkan pemilu secara mutlak dengan selisih suara sangat besar, baik di pemilu 2004 maupun pemilu 2009. Sulit mempersoalkan selisih suara yang sangat besar yang diraih Yudhoyono. Hal ini membantu mempersiapkan rakyat Indonesia menghadapi perolehan selisih suara Jokowi yang lebih sedikit. Perolehan suara Jokowi yang 53% dengan Prabowo yang 47%, jadi ada selisih suara 6%, tetapi merupakan hal yang substansial. Tetapi tetap memicu pertanyaan soal apakah Prabowo akan berhasil mempersoalkan selisih suara tersebut ke pengadilan dan akankah hal ini memicu terjadinya aksi kekerasan. Kita sama-sama tahu Indonesia sudah mengalami banyak pengalaman dengan terjadinya beragam aksi kekerasan. Saya bahkan baru saja berbicara dengan beberapa teman yang baru kembali dari Indonesia, mereka mengatakan menemui banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang bersiap menuju ke Singapura, Hong Kong atau negara-negara dekat lainnya karena khawatir terjadinya aksi kekerasan bernuansa ras pasca pemilu. Ini sangat miris. Meskipun hingga saat wawancara ini terbukti tidak terjadi aksi kekerasan apapun di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kekhawatiran itu tidak terbukti, menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sudah dewasa dan menunjukkan keabsahan hasil pemilu.
VOA: Jika ketiga kriteria itu dinilai sudah terpenuhi, dapatkah dikatakan demokrasi Indonesia sudah berhasil?
Prof. Emmerson: Nah itu dia. Demokrasi baru dinilai benar-benar berhasil jika berhasil membuktikan kepada para peserta demokrasi – dalam hal ini rakyat Indonesia, bahwa hasil demokrasi itu manjur bagi mereka. Bahwa tokoh atau pemerintahan yang dihasilkan dari proses demokrasi itu benar-benar kompeten. Ini masih harus diuji karena Jokowi juga baru saja terpilih.
VOA: Jokowi memang belum membuktikan kompetensinya tetapi setidaknya rakyat Indonesia telah membuktikan bahwa mereka lebih dewasa dalam berdemokrasi dibanding elit politiknya, bukan?
Prof. Emmerson: Hahaha… Penggambaran yang Anda sampaikan cukup baik. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah elit politik terlibat dalam korupsi, manipulasi, ada yang mengklaim bahwa Indonesia adalah negara oligarki yang tidak bisa melakukan reformasi, negara yang hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang korup, dan jika kemudian kita melihat beberapa elit politik tertentu yang keluar masuk dalam kabinet pemerintahan selama ini, memang benar yang Anda katakana. Tetapi Anda juga harus mengetahui bahwa Jokowi berasal dari latar belakang yang sama sekali berbeda. Ia adalah satu-satunya presiden di Indonesia yang latar belakangnya berasal dari dunia bisnis, ia memang pernah menjadi walikota Solo dan kemudian gubernur Jakarta, tetapi pada dasarnya ia adalah pebisnis. Ia seorang eksportir mebel dari Solo. Ia berasal dari luar lingkaran elit yang korup. Dan rakyat Indonesia tampaknya tahu betul bahwa jika mereka memang ingin melakukan reformasi secara serius, terutama reformasi ekonomi yang memang luar biasa penting, maka sangat rasional untuk tidak memilih seseorang yang pernah duduk di lingkaran kekuasaan, tetapi memilih seseorang yang benar-benar berasal dari luar sistem.
VOA: Apa masalah yang menjadi target pekerjaan utama Jokowi setelah dilantik? Reformasi ekonomi atau justru mengatasi intoleransi beragama dan minimnya perlindungan terhadap kaum minoritas?
Prof. Emmerson: Saya kira kita harus bedakan antara prioritas dan masalah. Dalam hal prioritas, saya kira prioritas utama Jokowi adalah reformasi ekonomi. Harus diakui bahwa makro ekonomi Indonesia tidak terlalu baik, angka pertumbuhan masih di bawah 6%. Angka ini sebenarnya, jika ingin jujur, merupakan hal yang tidak seharusnya. Artinya angka pertumbuhan ini masih bisa didorong lebih tinggi lagi jika Indonesia berniat tidak sekedar jadi negara berkembang. Infrastruktur merupakan prioritas penting lain terkait reformasi ekonomi. Indonesia dikenal sebagai negara yang punya sumber daya beragam, minyak, emas, mineral, dll, sehingga infrastruktur merupakan hal vital. Jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dll. Infrastruktur merupakan hal yang sangat vital. Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia akan tertinggal secara domestik dan luar negeri. Padahal ini sangat penting untuk mendorong angka pertumbuhan. Hal lain adalah anggaran! Hampir seperlima anggaran habis untuk subsidi BBM. Saya tahu mencabut subsidi BBM akan sangat menyakitkan rakyat, tetapi saya juga yakin legitimasi Jokowi akan membuat rakyat memahami kebijakan ini jika ia memutuskannya pada tahun pertama setelah berkuasa. Prioritas penting lain setelah ekonomi adalah pendidikan. Untuk mencegah terperangkap dalam kemiskinan secara terus menerus, Indonesia harus meningkatkan kualitas pendidikan. Sebenarnya kebijakan pendidikan Indonesia sejak jaman Soeharto sudah cukup baik, terutama dari sisi kuantitas atau banyaknya jumlah anak yang bisa sekolah. Tapi dari sisi kualitas, saya kira perlu ada terobosan. Jika Indonesia tidak bisa membuat SDMnya bersaing di pasar global maka masa depannya akan kurang cerah.
Sementara dari sisi tantangan, yang paling utama adalah intoleransi yang Anda sebut tadi. Meningkatnya jumlah kelompok Islam garis keras dan kekebalan hukum yang mereka miliki setelah melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok Kristen, kelompok Islam-minoritas dll merupakan tantangan utama yang harus diatasi Jokowi. Saya sangat gembira ketika menyadari pidato kemenangan Jokowi di pelabuhan Sunda Kelapa, yang tampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan Indonesia memiliki akses maritim global, menggunakan beragam bahasa. Salam pembuka Jokowi dalam pidato itu tidak saja menggunakan bahasa Arab “Assalammualaikum” tetapi juga bahasa Budha, Hindu, dll. Ini menunjukkan bahwa Jokowi sejak awal punya keberanian untuk mengatasi intoleransi beragama di Indonesia. Tantangan kedua Jokowi adalah korupsi. Survei terbaru Gallup menunjukkan bahwa 91% warga Indonesia yakin bahwa korupsi meluas dari pemerintahan dan 86% warga yakin korupsi meluas dari dunia bisnis. Ini merupakan salah satu tantangan utama bagi Jokowi untuk memberantasnya dan menurunkan angka korupsi. Saya yakin Jokowi mampu karena dalam salah satu pernyataannya ia mengatakan “jika ada menteri yang kinerjanya tidak baik, termasuk melakukan korupsi, maka ia akan memecatnya.” Ini tidak terjadi pada pemerintahan Yudhoyono, terutama pada masa jabatan keduanya. Momentum pemberantasan korupsi yang digalakkan pada masa jabatan pertama, pupus begitu muncul sejumlah kasus korupsi pada masa jabatan keduanya, yang bahkan menjadi wabah tidak saja di pemerintahannya tetapi juga partai politiknya.
VOA: Jika Jokowi menyadari masalah dan tantangan yang dihadapinya, pastinya akan terjadi perubahan kebijakan besar-besaran dalam pemerintahan Jokowi?
Prof. Emmerson: Ya. Tetapi saya harus jujur menganalisa, karena saya independen dan tidak partisan, bahwa Jokowi memang jauh lebih menjanjikan sebagai pemimpin baru dibanding Prabowo, tetapi jangan lupa partai yang mengusungnya ke puncak kekuasaan. PDI-Perjuangan dan pimpinannya Megawati Soekarnoputri bukanlah orang luar, ia adalah orang dalam. Setidaknya pernah berada dalam lingkaran kekuasaan. Demikian pula Jusuf Kalla yang kini akan berjuang bersama Jokowi, patut diakui ia memiliki rekam jejak yang baik dalam menangani berbagai isu, terutama konflik di Aceh dan Poso, tetapi ia juga orang dalam, ia juga bagian dari elit politik. Latar belakangnya di Golkar, partai yang kini justru mendukung Prabowo. Jadi saya optimistis, tetapi juga waspada, berhati-hati melihat pengambilan kebijakan Jokowi nantinya. Jika Anda mencoba memposisikan diri dalam posisi Jokowi dan menjadi inkumben, maka banyak hal akan berubah, dalam arti ia akan menyadari bahwa banyak hal yang harus dilakukan dan tanggungjawab yang harus dipikul lewat kompromi.
VOA: Apakah mungkin terjadi kompromi, atau saya lebih suka menggunakan kata “rekonsiliasi”, di antara kubu Jokowi dan Prabowo? Mungkinkah Jokowi menawarkan sejumlah posisi bagi Prabowo?
Prof. Emmerson: Ini topik yang krusial. Karena begini, setelah pengumuman KPU dan ada penetapan pemenang secara sah, tanpa gejolak, mungkin banyak warga dan pemimpin dunia merasa lega. Mereka mulai mengalihkan perhatian ke Ukraina, krisis Israel-Palestina, dll. Tapi saya tidak. Menurut saya masa di antara saat pengumuman KPU 22 Juli hingga pelantikan Oktober nanti justru merupakan masa-masa genting. Jelas bahwa partai-partai yang mendukung Prabowo bisa akan bubar atau keluar dari koalisi yang mereka ciptakan. Mereka akan mencari kesempatan untuk bergabung dengan Jokowi yang saat ini hanya menguasai 37% kursi di DPR. Harus diakui bahwa meskipun Jokowi jadi presiden, ia adalah presiden minoritas karena partai-partai yang mendukungnya hanya merupakan kelompok kecil di DPR. Sementara sistem politik Indonesia adalah campuran antara presidensial dan parlementer. Jokowi akan menghadapi kesulitan jika ia menemui tantangan dari koalisi besar yang berada di belakang Prabowo. Kabar baiknya adalah koalisi permanen Prabowo itu justru akan bubar. Tetapi jangan salah, hal ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru karena jika kita belajar dari era pemerintahan Yudhoyono yang merangkul begitu banyak partai pendukung dan merasa “kuat”, padahal hanya dalam tanda petik. Dukungan yang diperoleh Yudhoyono semu dan banyak anggota kabinetnya yang mengambil kebijakan sendiri-sendiri karena merasa loyalitasnya diukur dari sikap loyal kepada partai politiknya, bukan kepada presiden. Walhasil pemerintahannya kacau dengan begitu banyak politisi independen dan Yudhoyono tidak bisa menjadi bahwa kabinetnya kompeten. Sudah tidak kompeten, dipenuhi skandal korupsi pula. Jadi saya kira sebaiknya hanya melakukan koalisi secara minimal, 53 hingga 54 persen, sehingga bisa mempertahankan kekuatan mayoritas tadi tanpa perlu diganggu oleh mereka yang hanya loyal pada partai politik dan bukan pada presiden. Saya menilai Jokowi cukup mampu mewujudkan hal ini karena ia pernah mengatakan bahwa hanya 20% dari kabinetnya yang berasal dari partai politik. Jika itu yang terjadi saya yakin kompetensi pemerintah Jokowi akan tinggi dan korupsi bisa ditekan.
VOA: Adakah kebijakan luar negeri yang perlu diubah Jokowi?
Prof. Emmerson: Dari kampanye-kampanya saya melihat Jokowi menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Palestina, yaitu dengan membuka kedutaan Indonesia di Palestina. Tapi di luar Timur Tengah, saya kira banyak pihak menanti bagaimana sikap Indonesia mengatasi beragam tantangan baru di Asia Tenggara, termasuk pendekatan apa yang akan dilakukan terhadap China. Kini ada anggapan bahwa “Anda bisa mendekat ke China untuk meningkatkan kemakmuran dan mendekat ke Amerika untuk memperkuat keamanan.” Jika Jokowi benar-benar tulus saat mengungkapkan rencana untuk menjadikan Indonesia sebagai “poros maritim dunia” atau “global maritime access” maka ia harus mempersiapkan kebijakan untuk menghadapi China, terkait krisis di Laut China Selatan, dan tentu saja pada ASEAN. Indonesia adalah “natural leader” ASEAN, tapi herannya dalam beberapa tahun ini Indonesia tidak suka memainkan peran penting. Kebijakan luar negeri Indonesia malah bisa dibilang “naïf”. Kita dengar dari Yudhoyono bahwa kebijakan luar negeri Indonesia berlandaskan “million friends zero enemy”. Itu bukan strategi, itu kontes popularitas. Saya harap Jokowi memahami luasnya Indonesia, signifikannya peran yang dimainkan, bahkan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beragam sumber daya, sehingga kebijakan luar negerinya lebih baik. Saya kira Indonesia tidak bisa bersikap pasif saja terhadap banyak hal, terutama terhadap China. Karena jika hal ini terus terjadi maka dari perspektif Amerika, jika Amerika diminta Vietnam dan Filipina untuk membantu menghadapi China, maka sebenarnya Amerika justru mempertanyakan peran Indonesia dan ASEAN terlebih dulu. Jika negara-negara di Asia Tenggara tidak peduli dengan konflik yang terjadi di Laut China Selatan, kenapa Amerika harus peduli? Pendekatan yang sekarang ini terjadi yaitu “mendekat ke China untuk meningkatkan kemakmuran dan mendekat ke Amerika untuk memperkuat keamanan,” bukanlah pendekatan yang baik untuk jangka panjang. Apalagi bagi Amerika yang pastinya tidak ingin “dimintai” membantu menjaga keamanan Asia Tenggara tetapi ditinggal saat Asia Tenggara mencari kemakmuran ke China. Pernyataan ini bisa jadi kontroversial tetapi saya rasa Indonesia dibawah Jokowi harus memikirkan hal ini. Banyak pihak, termasuk Amerika, yang menunggu inisiatif Indonesia dalam berbagai isu.