Rakyat Turki pada Minggu (28/5) memberikan suara dalam pemilihan presiden putaran kedua yang diperkirakan akan memberikan peluang kepada petahana Presiden Tayyip Erdogan untuk memperpanjang kekuasaannya hingga dekade ketiga. Kemenangan Erdogan tersebut akan mengintensifkan Turki yang semakin otoriter, kebijakan luar negeri yang kuat, dan tata kelola ekonomi yang tidak umum.
Erdogan, 69 tahun, menjungkirbalikkan hasil jajak pendapat dengan berhasil unggul tipis, hampir lima poin atas saingannya Kemal Kilicdaroglu dalam putaran pertama pada 14 Mei. Namun dia gagal meraih 50 persen suara yang dibutuhkan untuk langsung memenangkan Pilpres.
Keunggulan Erdogan dalam pilpres putaran pertama sungguh tak terduga di tengah krisis biaya hidup yang dalam di Turki. Namun kemenangan itu, disusul dengan kemenangan dalam pemilihan parlemen untuk koalisi Partai AK (AKP) yang berakar dari Islam konservatif, MHP nasionalis dan lainnya, mendukung juru kampanye veteran yang mengatakan bahwa dia akan memilih Erdogan untuk stabilitas.
Kilicdaroglu, 74 tahun, adalah kandidat dari aliansi oposisi enam partai, dan memimpin Partai Rakyat Republik (CHP) yang dibentuk oleh pendiri Turki Mustafa Kemal Ataturk. Kubunya berjuang untuk mendapatkan kembali momentum setelah kalah tipis pada putaran pertama.
Pilpres putaran kedua akan memutuskan tidak hanya siapa yang memimpin Turki, negara anggota NATO berpenduduk 85 juta jiwa. Namun, juga bagaimana arah pemerintahannya, ke mana arah ekonominya setelah nilai tukar mata uangnya terhadap dolar anjlok hingga sepersepuluh dalam satu dekade. Presiden Turki terpilih juga akan menentukan bentuk kebijakan luar negerinya. Ankara di bawah Erdogan terlihat ‘kurang akur’ dengan Barat sehingga memilih menjalin hubungan dengan Rusia dan negara-negara Teluk.
Pilpres putaran awal menunjukkan dukungan yang lebih besar dari perkiraan untuk nasionalisme - kekuatan yang kuat dalam politik Turki yang diperkeras oleh permusuhan selama bertahun-tahun dengan militan Kurdi, percobaan kudeta pada 2016 dan masuknya jutaan pengungsi dari Suriah sejak perang dimulai pada 2011.
Turki adalah negara yang menampung jumlah pengungsi terbesar di dunia, yaitu sekitar 5 juta migran. Sebanyak 3,3 juta di antaranya adalah warga Suriah, menurut data Kementerian Dalam Negeri.
Kandidat presiden ketiga yang juga nasionalis garis keras, Sinan Ogan, mengatakan dia mendukung Erdogan berdasarkan prinsip "perjuangan tanpa henti (melawan) terorisme," mengacu pada kelompok pro-Kurdi. Dia meraih 5,17 persen suara.
Sebuah survey dari lembaga jajak pendapat Konda untuk putaran kedua menempatkan dukungan untuk Erdogan pada angka 52,7 persen dan Kilicdaroglu pada 47,3 persen. Survei yang paling menjadi perhatian itu dilakukan pada 20-21 Mei, sebelum Ogan dan Ozdag mengungkapkan dukungan mereka.
Erdogan Lagi
Pemungutan suara akan dibuka pada Minggu (28/5) pukul 08.00 waktu setempat, dan ditutup pada pukul 17.00. Menjelang Minggu (28/5) petang harus ada indikasi yang jelas tentang pemenangnya.
"Turki memiliki tradisi demokrasi yang sudah lama dan tradisi nasionalis yang sudah lama ada, dan saat ini jelas nasionalislah yang menang. Erdogan telah memadukan kebanggaan agama dan nasional, menawarkan anti-elitisme yang agresif kepada para pemilih," kata Nicholas Danforth, sejarawan Turki.
"Erdogan lagi berarti Erdogan lagi. Orang-orang tahu siapa dia dan apa visinya untuk negara, dan tampaknya banyak dari mereka yang setuju."
Namun, jika rakyat Turki menginginkan Erdogan turun, hal itu sebagian besar disebabkan karena tingkat kesejahteraan, kesetaraan, dan kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar menurun akibat inflasi yang mencapai 85 persen pada Oktober 2022.
Kilicdaroglu, seorang mantan pegawai negeri, berjanji untuk melakukan perubahan besar terhadap kebijakan Erdogan terkait isu domestik, luar negeri dan ekonomi.
Dia juga akan kembali ke sistem pemerintahan parlementer, dari sistem presidensial eksekutif Erdogan, yang disahkan dalam referendum pada 2017. [ah/ft]
Forum