Upaya untuk memasukkan Swedia dan Finlandia ke dalam NATO masih terganjal, karena Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersikeras negaranya akan menggunakan wewenangnya untuk memveto perluasan aliansi tersebut.
Dalam pernyataan publik terkait masalah itu, Erdogan mengklaim bahwa dengan mengizinkan beberapa kelompok pembangkang yang menentang pemerintahannya tetap beroperasi di Swedia, pemerintah Swedia telah merusak situasi keamanan nasional Turki. Erdogan juga mengutarakan rasa frustrasinya atas embargo senjata yang dikenakan pada negaranya oleh negara-negara Eropa setelah ia mengirim pasukan Turki ke Suriah pada 2019.
Kedua negara Skandinavia yang selama bertahun-tahun tetap bersikap netral itu secara resmi mengajukan permohonan keanggotaan NATO pada Mei lalu, hampir tiga bulan setelah Rusia menginvasi Ukraina. Walaupun Swedia tidak berbatasan langsung dengan Rusia, negara tetangganya, Finlandia, berbatasan langsung dengan Moskow sepanjang hampir 1.300 kilometer.
Turki telah terlibat dalam konflik selama puluhan tahun dengan sejumlah kelompok Kurdi yang berusaha merdeka atau memperoleh wilayah otonom di Turki.
Salah satu kelompok itu, Partai Pekerja Kurdistan (PKK) secara resmi diakui sebagai organisasi teroris oleh AS, Uni Eropa dan negara lainnya. Namun demikian, ada kelompok-kelompok lain yang juga mengadvokasi kedaulatan bagi masyarakat Kurdi – kelompok etnis terbesar di dunia tanpa negara sendiri.
Beberapa kelompok itu telah bersekutu dengan AS dalam pertempuran melawan ISIS di Suriah Utara. Kelompok Unit Perlindungan Rakyat (YPG) berkontribusi sangat efektif dalam pertarungan itu. Namun, Erdogan justru sangat tidak mempercayai kelompok tersebut karena hubungan mereka dengan separatis PKK di Turki. Kelompok lainnya, PYC, adalah cabang politik YPG yang telah menjalin hubungan dengan beberapa pemerintah Barat, termasuk Swedia.
Menurut pandangan Turki, hubungan kelompok-kelompok itu dengan PKK membuat mereka semua secara de facto merupakan organisasi teroris.
Dalam artikel The Economist yang diterbitkan pekan ini, Erdogan menggambarkan negaranya sebagai pendukung setia NATO. Ia pun menyebutkan berbagai tindakan yang telah diambil negaranya untuk mendukung aliansi itu selama bertahun-tahun.
Dalam tanggapan NATO terhadap invasi Rusia ke Ukraina, kontribusi Turki termasuk yang paling signifikan. Selain memberikan perlengkapan militer penting dan dukungan diplomatik, pemerintahan Erdogan juga telah memblokir kapal-kapal perang Rusia dari jalur perlintasan antara Laut Tengah ke Laut Hitam.
“Karena seluruh sekutu NATO menerima pentingnya peran Turki bagi aliansi, sungguh disayangkan bahwa beberapa anggota gagal sepenuhnya untuk menghargai ancaman tertentu terhadap negara kami,” tulisnya.
“Turki menyatakan bahwa masuknya Swedia dan Finlandia menimbulkan risiko keamanan bagi Turki sendiri dan masa depan organisasi. Kami berhak mengharapkan negara-negara tersebut – yang mengharapkan pasukan terbesar kedua NATO untuk membela mereka berdasarkan Pasal 5 (Perjanjian NATO) – untuk mencegah perekrutan, penggalangan dana dan propaganda PKK, yang dianggap sebagai entitas teroris oleh Uni Eropa dan Amerika.”
Selain itu, Erdogan juga mengatakan bahwa embargo senjata terhadap negaranya harus dicabut.
“Turki menekankan bahwa semua bentuk embargo senjata – seperti yang diberlakukan Swedia terhadap negara saya – tidak sesuai semangat kemitraan militer di bawah payung NATO. Pembatasan semacam itu tidak hanya merusak keamanan nasional kami, tetapi juga merusak identitas NATO sendiri.”
Perselisihan mengenai perluasan NATO dapat menjadi beban politik bagi pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, yang mendorong Swedia dan Finlandia untuk mendaftar, menjamu para pemimpinnya di Washington dan secara terbuka mengungkapkan harapannya bahwa permohonan mereka akan segera diterima.
Pemerintahan Biden sejak itu mencoba menjauhkan diri dari diskusi tersebut. [rd/pp]