Bagi wartawan Turki, Emre Kızılkaya, media sosial merupakan suatu keharusan. Ia sudah menggunakan platform tersebut, termasuk Twitter sejak 2008. Ia memasang cuitan selama demonstrasi Gezi Park di Istanbul pada 2013 dan ketika tentara menggerebek gedung surat kabar setelah upaya kudeta yang gagal pada tahun 2016.
Tetapi jika anggota parlemen Turki mengindahkan seruan Presiden Recep Tayyip Erdogan bulan ini, untuk melakukan pengawasan yang lebih besar terhadap media sosial, Kızılkaya dan wartawan lainnya bisa kehilangan salah satu platform terakhir yang memungkinkan mereka untuk melaporkan secara bebas.
Sebuah rancangan undang-undang yang pertama kali diperkenalkan pada bulan April dan didukung oleh Erdogan menyerukan platform media sosial besar seperti Twitter, Facebook dan Google menunjuk perwakilan hukum di Turki guna menangani permintaan pengadilan untuk menghapus konten atau memberikan identitas pengguna.
Perusahaan-perusahaan yang gagal menunjuk wakilnya dalam waktu 30 hari sejak undang-undang ini berlaku akan dikenai denda yang terus meningkat dan pengurangan bandwidth sampai 90 persen, kata seorang legislator Turki kepada wartawan.
Wartawan lokal dan pakar hak digital mengatakan RUU itu menjadi keprihatinan di negara yang sudah membatasi ruang laporan independen dan di mana media sosial berperan penting dalam pelaporan dan berbagi berita.
"Saya memeriksa denyut nadi publik di media sosial," kata Kızılkaya, wakil presiden komite nasional Lembaga Pers Internasional di Turki dan editor proyek di Journo, sebuah kantor berita nirlaba.
“Media sosial adalah bagian dari sejarah. Mengontrolnya berarti mengubah sejarah," imbuhnya.
Erdogan menyerukan pengawasan lebih jauh di media sosial pada 1 Juli, sehari setelah pengguna media sosial memasang komentar menghina ketika putri dan menantunya mengumumkan kelahiran anak mereka. Polisi menahan orang-orang yang diduga berada di belakang 11 dari 19 akun yang mengecam keluarga itu. [my/jm]