Fachrul Razi menjadi Jenderal TNI ketiga yang menjabat sebagai Menteri Agama. Soeharto pernah menugaskan Alamsyah Ratu Prawiranegara di Kabinet Pembangunan III dan Tarmidzi Taherpada Kabinet Pembangunan VI. Pasca Reformasi, Fachrul menjadi Jenderal pertama yang berkantor di Lapangan Banteng, Jakarta.
"Kesembilan, Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai menteri agama. Ini urusan berkaitan dengan radikalisme, ekonomi umat, industri halal saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau,” kata Jokowi ketika memperkenalkan menteri pilihannya itu.
Latar belakang militer Fachrul tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa Jokowi menempatkannya di kursi Menteri Agama. Namun, pesan pendek mengenai penanganan radikalisme bisa dijadikan benang merah untuk hal itu.
Dari Yogyakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengirim pesan agar Fachrul Razi bertindak cermat untuk tugas itu.
“Soal radikalisme itu tetap harus terukur. Terukur itu jangan gebyah uyah (menyamaratakan-red). Artinya, jangan sembarangan untuk menilai yang ini radikal dan itu bukan radikal. Secara keseluruhan, baik dalam konteks agama maupun umum, perlu ada pemahaman yang komprehensif mengenai radikalisme, supaya tidak gebyah uyah,” kata Haedar.
Terkait tugas menekan radikalisme, Haedar mengatakan ada banyak hal yang perlu ditata. Dia mengakui, ada bagian-bagian dari perilaku beragama, perilaku berbangsa dan perilaku sosial yang mengarah pada radikal. Tetapi dia tidak setuju jika radikalisme dilekatkan pada agama, apalagi agama tertentu. Menurutnya, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berideologi, dan bersosial juga ada kecenderungan ekstrem dan radikal yang mengarah pada kekerasan.
Haedar memberi contoh banyak aksi kekerasan di tanah air yang muncul bukan karena faktor agama. Karena itu, dia meminta penunjukan Fachrul Razi tidak diarahkan hanya ke problem radikalisme.
“Saya pikir, arahnya tidak ke situ, ya. Dan tidak perlu diarahkan ke situ. Karena pembinaan keagamaan dan perilaku beragama yang positif di Indonesia itu jauh lebih banyak, ketimbang yang negatifnya. Sebab kalau kaca matanya hitam putih itu nanti malah keliru,” kata Haedar.
Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar memberi sejumlah pesan bagi Menteri Agama yang baru. Menurutnya, meski berlatar belakang militer, posisi Fachrul Razi sebagai pejabat publik saat ini dibatasi oleh koridor yang berlaku. Setiap tindakan, kebijakan, dan langkahnya harus didasarkan pada sistem yang berlaku.
Haedar juga berpesar, menteri adalah milik semua pihak, dalam hal ini agama, ormas atau golongan yang selama ini dibina Kementerian Agama. Karena itulah, Haedar minta Fachrul berdiri di atas semua golongan.
“Agama institusi keagamaan itu harus menjadi kekuatan yang mencerdaskan, mendamaikan, memajukan, menyatukan agama, membawa nilai-nilai ruhani dan keadaban yang baik. Saya pikir semua agama begitu komitmennya. Tentu menteri agama punya komitmen kesitu,” tambah Haedar.
Peneliti radikalisme dan terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, melihat penunjukan ini dalam skala yang luas. Dia menilai, Jokowi ingin ada perubahan di level pembuat kebijakan terkait upaya kontraradikalisme dan terorisme agar lebih efektif.
“Sebetulnya dalam konteks Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, di mana BNPT menjadi salah koordinator dalam konteks penanggulangan terorisme, maka sebetulnya, tidak bisa kerja penanggulangan radikalisme hanya dilakukan Kementerian Agama,” kata Syauqillah merujuk pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pasalnya, hal itu berkaitan juga dengan kementerian-kementerian yang lain, tambah Syauqillah yang juga Ketua Program Studi Kajian Terorisme dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), Universitas Indonesia.
Syauqillah memberi contoh, dalam kaitan ini perlu diperhatikan pernyataan Menteri Pertahanan kabinet sebelumnya, yang menyatakan setidaknya ada 3 persen masyarakat terpapar radikalisme.
Pada sisi yang berbeda, keprihatinan tingginya radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi pekerjaan bagi Fachrul Razi dan Tjahjo Kumolo selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB). Koordinasi kementerian ini harus dilakukan di tingkat Kementerian Koordinator, yang kali ini dipimpin Muhadjir Effendy. Sementara BNPT akan menjadi pusat dari upaya tersebut.
Pilihan Jokowi atas Fachrul Razi memiliki sejumlah pertimbangan, menurut Syauqillah. Sebagai jenderal purnawirawan, dia dinilai lebih mudah berkoordinasi dengan BNPT. Dalam konteks kontraradikalisme, pilihan ini diharapkan membuat akselerasi pelibatan unsur TNI menjadi lebih cepat. Namun Syauqillah juga berpesan, sebagai bagian dari birokrasi, Fachrul Razi harus mampu menggerahkan aparat di bawahnya untuk melaksanakan tugas tersebut.
Dia mengaku, sulit mengomentari bagaimana kira-kira kinerja Fachrul Razi ke depan, karena latar belakangnya yang kurang banyak bersentuhan dengan apa yang menjadi bidang kerja kementerian ini. Meski menurutnya, latar belakang itu tidak sepenuhnya menjadi jaminan apakah purnawirawan ini akan berhasil dalam tugas atau tidak.
“Track record tidak bisa dijadikan jaminan, apakah seseorang layak atau tidak layak. Pertanyaannya, mampukah beliau melakukan akselerasi di internal kementerian agama yang sebetulnya dalam konteks sejarahnya, memang ada fase-fase di mana dia menjadi semacam 'jatah' dari ormas Islam tertentu,” tambah Syauqillah.
Salah satu prioritas yang harus diambil Fahcrul Razi terkait tugasnya, menurut Syauqillah, adalah melakukan konsolidasi internal kementeriannya sendiri. Selain itu, dia secepatnya juga harus mengkonsolidasikan ormas-ormas keagamaan yang ada di Indonesia. Pertemuan dengan ormas keagamaan itu bisa menjadi wahana untuk menjawab keraguan atas penunjukan Fachrul Razi sebagai menteri agama. Tidak boleh ketinggalan, Fachrul Razi juga harus belajar untuk turut mengelola perguruan tinggi dan sekolah keagamaan di seluruh Indonesia yang ada di bawah kementeriannya.
Fachrul Razi adalah lulusah Akademi Militer tahun 1970. Jabatan terakhir di kemiliteran adalah Wakil Panglima TNI pada 1999-2000. Jenderal ini cukup dekat dengan Jokowi, karena menjadi Ketua Tim Bravo 5, salah satu tim sukses Jokowi-Amin dalam Pemilu 2019. Sebagai seorang purnawirawan jenderal, kata Syauqillah, Fahcrul Razi harus belajar banyak dan cepat untuk memimpin Kementerian Agama. [ns/ft]