Tan Malaka adalah sosok penting dalam sejarah berdirinya negara Indonesia. Meski Presiden Soekarno telah menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada dirinya, namun nama Tan Malaka seolah lenyap ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berkuasa.
Hak-haknya sebagai pahlawan nasional tidak pernah dipenuhi. Namanya tidak pernah muncul dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Buku-buku karya lelaki kelahiran Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, itu dicekal.
Baru di era reformasi, buku-buku karangan Tan Malaka bebas diperjualbelikan. Diskusi mengenai pemikiran dan perjuangannya juga bisa digelar tanpa rasa takut, seperti dilakukan di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat Senin (27/3).
Dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Harry A. Poeze, peneliti asal Belanda yang selama 40 tahun berupaya meneliti dan mencari tahu sepak terjang Tan Malaka, termasuk mencari kuburannya.
Pada haul ke-68 Tan Malaka, pemerintah dan para tokoh Kabupaten 50 Kota yang dipimpin Wakil Bupati Frezial Ridwan, telah melakukan upacara secara adat dan Islam, untuk memindahkan kuburan pahlawan nasional tersebut dari Kediri ke kampung halamannya, Pandam Gadang, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.
Namun, menurut Fadli, pemindahan secara resmi masih menunggu keputusan dari Kementerian Sosial dan Pemerintah Kabupaten Kediri.
"Saya kira bagi masyarakat, khususnya di wilayah Sumatera Barat, mungkin ini menjadi satu hal sangat penting di mana mendudukkan Tan Malaka, karena Tan Malaka adalah seorang figur pendiri republik yang mungkin sering kali dilupakan dan juga boleh dibilang disalahpahami. Kalau melihat dari jejak sejarahnya, memang Tan Malaka adalah seorang tokoh yang mengalami pasang surut. Tentu saja di awal-awal perjuangan, sangat kental perjuangan dan pergerakannya, tetapi kemudian mempunyai kontroversi-kontroversi sendiri," papar Fadli.
Sejak ditangkap pada 13 Februari 1922 karena dianggap mengganggu penjajah Belanda lewat aksi buruh yang gencar, Tan Malaka hidup dalam pelarian selama 20 tahun.
Tan Malaka awalnya aktif dalam gerakan kiri, termasuk membuat Sekolah Sarikat Islam di Semarang, Jawa Tengah. Tetapi ia memiliki perbedaan pandangan yang tajam dengan tokoh-tokoh pemberontakan tahun1926, yang ketika itu menjadi musuh utama bagi tokoh-tokoh Partai komunis Indonesia (PKI) yakni Muso, Alimin, Darsono.
Fadli menjelaskan pada 1927 Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (Pari) yang tidak saja berjuang di dalam negeri tetapi juga luar negeri.
"Yang jelas, dia adalah seorang nasionalis. Itu satu hal yang membedakan (dirinya) dengan tokoh-tokoh kiri yang lain dan juga seorang muslim walaupun dia mempunyai pemikiran yang ketika itu dianggap atheistik atau yang lain," tambah Fadli.
Fadli mengakui cukup banyak karya dan gagasan yang dilahirkan oleh sosok kelahiran 2 Juni 1894. Salah satu yang paling monumental adalah buku berjudul Naar de Republiek Indonesia diterbitkan pada 1925. Ketika belum ada orang Indonesia berfikir soal Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah menyampaikan pemikiran tersebut, ujar Fadli.
Gagasan Tan Malaka ini juga lebih awal ketimbang Mohamad Hatta yang menulis soal Indonesia merdeka pada 1928, sementara Indonesia Menggugat, naskah pembelaan yang dibacakan Soekarno baru diungkap saat disidangkan oleh Belanda pada 1930.
Fadli menyayangkan banyak orang tidak tahu Presiden Soekarno telah memberikan gelar pahlawan nasional kepada mendiang Tan Malaka melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 53 pada 23 April 1963.
Harry Poeze menjelaskan Tan Malaka selalu dipengaruhi oleh masa kecilnya di ranah Minangkabau, termasuk kesalehannya sebagai seorang penganut Islam. Dia menambahkan pengalamannya sebagai kuli kontrak di Deli, Sumatera Utara, sepulang dari pendidikan di Belanda, mengubah Tan Malaka menjadi seorang pejuang gigih melawan penjajah Belanda.
Dalam mendidik, kata harry Poeze, Tan Malaka mengajarkan murid-muridnya soal kemandirian dan mempelajari keadaan masyarakatnya kala itu. Karena kegiatan pendidikannya, Tan Malaka ditahan dan dibuang dari Hindia Belanda. Dari sana, dia pergi ke Rusia lalu ke China. Di China dia beberapa kali mendirikan sekolah.
Harry Poeze menegaskan Tan Malaka adalah seorang komunis yang nasionalis. ketika merantau ke Jawa awal 1920-an, Tan Malaka bergabung dengan PKI yang berbeda dengan PKI zaman DN Aidit pada 1950-an. Karena itulah, menurut Harry Poeze, Sarikat islam dipimpin HOS Tjokroaminoto dekat dengan PKI lantaran prinsip nasionalisme partai tersebut. Bahkan, ada ulama dan kiai bergabung dengan PKI waktu itu.
"Di Jawa, ia (Tan Malaka) ikut Partai Komunis Indonesia. Perlu disadari PKI waktu itu sangat berlainan dengan PKI Aidit, misalnya. Waktu itu permulaan 1920-an, Partai Komunis satu-satunya partai atas dasar nasionalisme. PNI (Partai nasional) Indonesia belum ada, masih makan waktu lima tahun sebelum muncul. Waktu itu, satu-satunya kemungkinan untuk melawan Belanda dengan cita-cita nasionalisme ada di dalam tubuh PKI," ungkap Poeze.
Sebab itulah, tambah Harry Poeze, banyak kiai dan ulama di Sumatera Barat ikut dalam pemberontakan PKI melawan Belanda pada 1926 dan 1927.
Hengky Novaron Asril, keturunan langsung dari Tan Malaka, menceritakan Tan Malaka gemar bermain sepak bola, layang-layang, dan mengaji. Pada usia 16 tahun, Tan Malaka sudah menghafal Al-Quran, dikenal sebagai pemberani, dan cerdas.
Hengky menambahkan Tan Malaka hidup dalam lingkungan religius. Karena itu, dia rajin mempelajari agama dan belajar pencak silat.
"Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga yang taat beragama, tentu Tan Malaka belajar agama, seperti menghafalkan Al-Quran dan mempelajari dasar-dasar agama Islam. Sebagai anak-anak kampung di Minangkabau, dia belajar di surau. Bahkan dia sempat aktif mengajar mengaji anak-anak lainnya. Tan Malaka beberapa kali pernah menyelesaikan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Belanda," tutur Hengky.
Fadli menggarisbawahi bahwa Tan Malaka tidak setuju dengan pemikiran para pemimpin PKI, sebab Tan Malaka menyebut diktator proletarian bisa menindas rakyat. Menurut Fadli, diktator proletarian adalah gagasan Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, sedangkan Tan Malaka mengusulkan sebuah negara berdasarkan hukum yang humanis, tidak sarat dengan nilai-nilai kediktatoran. [fw/em]