Pada 19 Juni, China mengeluarkan tanggapan yang panjang terhadap pidato Menteri Luar Negeri Antony Blinken yang memaparkan kebijakan AS terkait China.
Blinken mengkritik Partai Komunis China yang terus menjadi “lebih represif di dalam negeri dan lebih agresif di luar negeri.” Meskipun Blinken menekankan bahwa AS tidak ingin memancing konflik, ia mengecam pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan di Xinjiang, Hong Kong dan Tibet yang dilakukan oleh Beijing.
Tanggapan Beijing sepanjang 25.645 kata membantah pernyataan Blinken. Ini yang paling menarik perhatian kami:
“Selama 150 tahun pemerintahan kolonial Inggris, tidak ada demokrasi di Hong Kong. TIdak ada gubernur yang dipilih secara demokratis oleh warga Hong Kong…
“… Sebaliknya, setelah Hong kong dikembalikan [ke China, penduduknya] … bisa mengatur urusan mereka sendiri dengan otonomi yang tinggi. Mereka bisa menikmati hak-hak demokrasi dan kebebasan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.”
Pernyataan ini salah. Justru pemimpin Hong Kong di bawah pengawasan China secara sistematis menghancurkan gerakan demokrasi di sana dan menerapkan sistem demokrasi palsu yang dimanipulasi oleh Beijing.
Seperti yang dilaporkan Polygraph.info sebelumnya, Beijing mengingkari janji awalnya untuk memberikan Hong Kong “otonomi tingkat tinggi” setelah Inggris setuju mengembalikan Hong Kong.
Dalam beberapa tahun terakhir, politisi yang pro-Beijing melarang protes dan meloloskan undang-undang keamanan nasional yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menghukum mereka yang berbeda pendapat.
Kandidat pro-demokrasi didiskualifikasi; aktivis dan anggota parlemen yang pro-demokrasi ditangkap; dan media pro-demokrasi ditutup dan wartawannya diteror dan dipenjara.
Beijing membatasi hak pilih warga Hong Kong yang dan hanya mengizinkan kandidat “patriotik” dan mengeluarkan panduan “patriotik” yang berusaha mengubah sejarah Hong Kong dengan menggambarkan Beijing secara positif.
Bisa dikatakan hak-hak demokrasi dan kebebasan warga Hong Kong dilucuti, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Antipati China terhadap demokrasi sesungguhnya sudah ada sejak lama. Hong Kong memang tidak menikmati demokrasi di bawah Inggris, tapi keadaan itu sebenarnya bisa berubah jika saja China tidak menentang upaya transisi demokratis.
Hong Kong adalah koloni Inggris selama satu setengah abad, dimulai dari 1841 (namun sepanjang tahun 1941-1945 berada di bawah pendudukan Jepang). Hong Kong menjadi koloni setelah Dinasti terakhir China, Dinasti Qing menandatangani perjanjian dengan Inggris.
Setelah komunis merebut kekuasaan pada 1949, China mengatakan tidak mengakui “perjanjian yang tidak setara” dengan Dinasti Qing. Beijing justru menganggap pendudukan Inggris illegal dan bersikeras bahwa Hong Kong adalah bagian dari China.
Negosiasi pada akhir abad ke-20 menghasilkan kesepakatan “satu negara, dua sistem” di bawah Deklarasi Bersama China-Inggris pada tahun 1984 yang terdaftar di PBB. China seharusnya memberikan otonomi kepada Hong Kong selama 50 tahun.
Arsip kolonial yang dipublikasikan oleh pemerintah Inggris dalam dekade terakhir menunjukkan Inggris awalnya ingin mengizinkan Hong Kong mengatur pemerintahannya sendiri pada tahun 1950an. Inggris bahkan sempat mempertimbangkan pemilu langsung pada 1960an dan 1970an, menurut Washington Post.
Namun di bawah kepemimpinan Mao Zedong, Partai Komunis China menolak ide itu, dan memperingatkan Inggris untuk “mempertahankan satus koloni Hong Kong,” menurut dokumen itu.
Seperti dilaporkan oleh majalah The Atlantic pada 2014, salah satu dokumen tersebut menggambarkan bagaimana Perdana Menteri China saat itu Zho Enlai, pada tahun 1958, mengatakan pada pejabat militer Inggris bahwa, “Beijing menganggap (keinginan Inggris untuk) mengizinkan Hong Kong melaksanakan pemerintahan mandiri sebagai ‘tindakan yang sangat tidak bersahabat’.”
Majalah The Atlantic menambahkan, pada 1960, Liao Chengzhi, direktur “urusan luar negeri China,” mengatakan pada wakil Hong Kong “bahwa pemimpin China ‘tidak takut untuk mengambil tindakan untuk membebaskan Hong Kong, Kowloon dan Teritori Baru’ jika Inggris mengizinkan mereka membentuk pemerintahan.”
“Beijing tidak lagi bisa mengklaim Hong Kong menderita di bawah pendudukan Inggris karena sekarang sudah diketahui bahwa merekalah yang memaksa status quo di Hong Kong,” kata Ho-Fung Hung, dosen sosiologi di Johns Hopkins University kepada The Atlantic.
“Beijing juga bertanggung jawab atas tidak adanya demokrasi di Hong Kong sebelum 1997,” kata Hung.
Pemilihan langsung sempat dilakukan di Hong Kong, meskipun hanya untuk kursi terbatas di pemerintahan lokal, selama beberapa tahun terakhir ketika masih dalam status koloni.
“Telah lama diketahui bahwa pada 1980an, ketika Inggris tahu akan meninggalkan Hong Kong dan ingin mempercepat reformasi demokrasi, pemerintah China mengancam mereka agar tidak melakukan hal itu,” kata Hung pada The Atlantic.
Forum