Bagi banyak warga kota Yulin di China bagian selatan, puncak musim panas adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga dan sahabat, serta menyantap daging anjing.
Ribuan anjing diperkirakan akan dimasak dalam festival daging anjing tahunan tersebut, yang semakin memancing kontroversi di China.
Memelihara anjing sempat dianggap sebagai kebiasaan borjuis yang dekaden, namun kelas menengah di China yang jumlahnya semakin banyak mulai melawan praktik yang dianggap barbar itu.
Hari Senin (22/6), sekitar 25 aktivis hak hewan sempat menggelar spanduk-spanduk di depan kantor pemerintah daerah, menuntut diakhirinya festival. Namun mereka segera diusir pria-pria tak dikenal.
Pasar anjing di kota itu telah menjadi lokasi bentrokan pendukung dan penentang perdagangan hewan tersebut.
“Ada banyak norma budaya tentang makanan. Kamu makan daging kalkun, jadi mengapa memaksa kita tidak makan daging anjing?” teriak salah satu pendukung konsumsi daging anjing.
Makan daging anjing baik untuk kesehatan di saat suhu sangat panas, ujar para pendukung, dan tidak ada bedanya dengan daging lain.
“Daging anjing sehat, dan seperti memelihara babi atau ayam, tidak ada masalah dengannya,” ujar Teng Jianyi, sambil melahap daging tersebut dengan beberapa kawannya.
Meski banyak warga China yang menandatangani petisi daring untuk membuat festival itu dlarang, yang lain memilih pendekatan langsung.
Tahun lalu, Yang Xiaoyun menjadi berita karena menghabiskan 150.000 yuan ($24.160) untuk menyelamatkan sekitar 350 anjing.
Yang, yang berasal dari China utara, telah kembali tahun ini dengan uang yang ia kumpulkan dari seluruh negeri, meski ia tidak mengatakan berapa banyak.
Perempuan itu berharap dapat mencari tempat untuk anjing-anjing yang diselamatkan dekat Yulin, dan ia tidak khawatir dengan kemungkinan mendapat perlawanan di sana.
“Saat ini kita tidak mampu mengubah kebiasaan orang. Jadi ini tanggung jawab pemerintah, bukan?” ujar Yang.
Meski ada keluhan, banyak warga Yulin yang bersumpah untuk terus makan anjing.
“Ini salah satu tradisi kita,” ujar Liang Xiaoli, yang pulang ke kota asalnya itu khusus untuk menghadiri festival.
"Mereka mengkritik kita, mengatakan kita tidak punya empati atau belas kasih, tapi saya kira setiap orang punya situasi yang berbeda,” ujarnya.
"Anda tidak bisa menyamaratakan orang. Misalnya, jika saya merasa makan babi itu sangat brutal, lalu tidak ada yang boleh makan babi. Tidak bisa seperti itu.”