Pembunuhan seorang turis Jerman di Filipina meningkatkan desakan perlunya pembicaraan antara pemerintah Presiden Rodrigo Duterte yang gencar memerangi kejahatan dan kelompok-kelompok pemberontak Muslim yang memiliki agenda berbeda.
Duterte berusaha berbicara dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) untuk mencari tahu bagaimana mereka kemungkinan mengelola kawasan dekat Laut Sulu di mana Muslim telah tinggal di sana selama berabad-abad.
Duterte mengusulkan sistem pemerintahan federal yang bisa memberi kelompok-kelompok Muslim tingkat kekuasaan lebih besar atas wilayah di bagian baratdaya negara kepulauan itu.
Pembunuhan turis Jerman berusia 70 tahun, Jurgen Kantner, bulan lalu di tangan Abu Sayyaf, sebuah kelompok kecil Muslim yang dianggap bandit oleh banyak warga Filipina, meningkatkan desakan bagi Duterte untuk merancang rencana perdamaian dan berbagi kekuasaan.
Rasmon Casiple, direktur eksekutif Lembaga Reformasi Politik dan Elektoral, mengatakan, pemerintah tak menghadapi kesulitan berdialog dengan kelompok-kelompok besar seperti MILF karena mereka sudah berkomitmen terhadap peta jalan menuju perdamaian.
Yang justru menjadi masalah, kata Casiple, adalah kelompok-kelompok kecil seperti Abu Sayyaf, yang sudah digolongkan sebagai kelompok-kelompok ektremis yang suka menggunakan kekerasan, dan sulit diatur.
Abu Sayyaf memenggal dua turis Kanada tahun lalu, dan sering menculik turis untuk meminta uang tebusan. Duterte meminta maaf kepada Jerman atas kegagalan pemerintahnya menyelamatkan Kantner, sementara penasehat proses perdamaiannya menyerukan agar Abu Sayyaf menghentikan aksi pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah dan tidak berdaya.
Duterte sudah melipatduakan upaya mencapai perjanjian perdamaian dan berbagi kekuasaan. Namun, upayanya diragukan masyarakat, kemungkinan ditentang di Kongres Filipina dan kompleksnya kelompok-kelompok pemberontak Muslim itu sendiri.
Pemberontak bersenjata di Mindanao dan kawasan Laut Sulu di sebelah barat Mindanao sudah menimbulkan kekacauan sejak 1960-an menyebabkan sekitar 120 ribu orang tewas. Kelompok pemberontak Muslim itu lahir karena membenci penduduk yang mayoritas Katholik dan kekuasaan mereka terhadap tanah.
Perundingan selama 17 tahun membuahkan perjanjian damai tahun 2014 antara pemerintah dan Fron Pembebasan Islam Moro. Tetapi Kongres tidak mau menyetujui perjanjian otonomi yang disebut Undang-Undang Pokok Bangsamoro, nama yang diambil dari satu kawasan di Mindanao yang bakal turut diperintah oleh MILF.
Antusiasme di Kongres turun terutama setelah pertempuran dua tahun lalu dengan MILF menewaskan 44 anggota pasukan khusus.
Kelompok-kelompok pemberontak Muslim di Mindanao serta sikap mereka yang suka berobah-obah dalam perundingan dengan pemerintah juga dapat mementahkan tiap perjanjian baru, kata pemerhati. Fron Nasional Islam Moro mengatakan presiden-presiden yang lalu menyesatkan dalam perundingan sehingga merugikan proses perdamaian.
Presiden Duterte bulan Januari lalu meminta kelompok itu untuk tidak melindungi teroris. Sementara, pimpinan MNLF sangat berharap pada pemerintahan Duterte untuk membuktikan diri sebagai mitra yang dipercaya dan konsisten, kata website resmi kelompok ini. [ab/al]