PHNOM PENH, CAMBODIA —
Musisi yang berhasil melewati rezim Khmer Merah yang kejam berkumpul kembali di akhir pekan, tampil di panggung untuk penggemar baru dan lama mereka. Konser di ruangan terbuka di Teater Chaktomuk, Phnom Penh berlangsung setelah penayangan terbatas Don't Think I've Forgotten, sebuah film dokumenter tentang kancah musik rock Kamboja pada tahun 1960an.
Konser reuni seringkali membangkitkan pemikiran-pemikiran band yang dulu sempat terkenal dan memainkan kembali instrumen musik mereka setelah istirahat panjang. Di sini, para musisi tidak hanya keluar dari pensiun mereka, tapi juga sering kali dari ketidakjelasan, ujar Touch Seang Tana. "Mungkin para penonton lebih mengenal saya sebagai seorang ilmuwan. Saya dulu artis dan musisi. Generasi muda tidak mengenal saya sebagai seorang musisi karena sejarah menghapus nama penulis lagi dari lagu, jadi kita tidak tahu lagi siapa yang menciptakan mereka," ujarnya.
Touch Seang Tana lebih dikenal sebagai seorang ahli konservasi yang bekerja dengan lumba-lumba Sungai Mekong. Ia akhir-akhir ini bergabung dengan beberapa musisi lainnya untuk menjadi saksi hidup atas masa jaya musik rock Kamboja. Banyak musisi dari era itu yang sudah meninggal, dibunuh oleh Khmer Merah yang kejam, yang mencoba menghapus musik dari sejarah Kamboja.
Adik dari salah satu penyanyi paling terkenal di era itu, Ros Serey Sothea, ikut mengingatkan penonton. "Seni dari era ini, bisa kita anggap sebagai peninggalan yang sangat penting; tolong jangan melupakannya dan mengubahnya," kata Ros Saboeun.
Film dokumenter Don't Think I've Forgotten yang dibuat selama sepuluh tahun berbagi kisah musisi yang turut andil dalam kancah musik rock Kamboja. Penayangan terbatas di Phnom Penh tidak hanya memenuhi gedung teater, tapi juga sebuah indikasi bahwa banyak yang mempunyai ketertarikan besar terhadap musik dan perang dan hal ini yang awalnya menarik sutradara John Pirozzi.
"Sebagai seorang warga Amerika, saya merasa terkejut kenapa saya tidak berpikir seperti itu sebelumnya. Itu awalnya. Dan selanjutkan adalah ketika saya mendengarkan musiknya. Saya seorang pecinta berat musik. Dan saya terpesona. Saya berpikir, 'Wow, ini musik yang luar biasa,' dan saya penasaran. Dari mana asal musik ini? Siapa orang-orang ini?" tanya Pirozzi.
Film dokumenter ini menelusuri sejarah musik rock Kamboja era 1960an dan 1970an melalui wawancara dengan orang-orang yang berhasil melalui era tersebut dan para penggemar mereka. Film ini juga menampilkan akhir traumatis di tangan Khmer Merah, dengan kenangan-kenangan yang diceritakan kembali oleh para musisi, dan juga oleh John Dean, mantan penasihat Presiden Richard Nixon. Film tersebut akan resmi ditayangkan tahun ini.
Konser reuni seringkali membangkitkan pemikiran-pemikiran band yang dulu sempat terkenal dan memainkan kembali instrumen musik mereka setelah istirahat panjang. Di sini, para musisi tidak hanya keluar dari pensiun mereka, tapi juga sering kali dari ketidakjelasan, ujar Touch Seang Tana. "Mungkin para penonton lebih mengenal saya sebagai seorang ilmuwan. Saya dulu artis dan musisi. Generasi muda tidak mengenal saya sebagai seorang musisi karena sejarah menghapus nama penulis lagi dari lagu, jadi kita tidak tahu lagi siapa yang menciptakan mereka," ujarnya.
Touch Seang Tana lebih dikenal sebagai seorang ahli konservasi yang bekerja dengan lumba-lumba Sungai Mekong. Ia akhir-akhir ini bergabung dengan beberapa musisi lainnya untuk menjadi saksi hidup atas masa jaya musik rock Kamboja. Banyak musisi dari era itu yang sudah meninggal, dibunuh oleh Khmer Merah yang kejam, yang mencoba menghapus musik dari sejarah Kamboja.
Adik dari salah satu penyanyi paling terkenal di era itu, Ros Serey Sothea, ikut mengingatkan penonton. "Seni dari era ini, bisa kita anggap sebagai peninggalan yang sangat penting; tolong jangan melupakannya dan mengubahnya," kata Ros Saboeun.
Film dokumenter Don't Think I've Forgotten yang dibuat selama sepuluh tahun berbagi kisah musisi yang turut andil dalam kancah musik rock Kamboja. Penayangan terbatas di Phnom Penh tidak hanya memenuhi gedung teater, tapi juga sebuah indikasi bahwa banyak yang mempunyai ketertarikan besar terhadap musik dan perang dan hal ini yang awalnya menarik sutradara John Pirozzi.
"Sebagai seorang warga Amerika, saya merasa terkejut kenapa saya tidak berpikir seperti itu sebelumnya. Itu awalnya. Dan selanjutkan adalah ketika saya mendengarkan musiknya. Saya seorang pecinta berat musik. Dan saya terpesona. Saya berpikir, 'Wow, ini musik yang luar biasa,' dan saya penasaran. Dari mana asal musik ini? Siapa orang-orang ini?" tanya Pirozzi.
Film dokumenter ini menelusuri sejarah musik rock Kamboja era 1960an dan 1970an melalui wawancara dengan orang-orang yang berhasil melalui era tersebut dan para penggemar mereka. Film ini juga menampilkan akhir traumatis di tangan Khmer Merah, dengan kenangan-kenangan yang diceritakan kembali oleh para musisi, dan juga oleh John Dean, mantan penasihat Presiden Richard Nixon. Film tersebut akan resmi ditayangkan tahun ini.