National Museum of Women in the Arts Washington DC hari Selasa malam (25/3) lalu dipenuhi para pencinta film yang hendak menyaksikan film "Sokola Rimba" arahan sutradara Riri Riza. “Sokola Rimba” yang menceritakan tentang pengalaman seorang perempuan mengajar anak-anak Rimba.
Ketika ditemui VOA beberapa saat sebelum pemutaran, Riri mengaku senang.
“Senang sekali saya rasa ini buat seorang pembuat film pastinya kesempatan untuk menunjukkan film kita di luar lingkungan yang nyaman,” katanya.
Cerita tentang seorang perempuan yang mengajar anak-anak Rimba di pedalaman hutan ini, diputar dalam Festival Lingkungan Hidup di Washington DC. Riri mengatakan filmnya sarat dengan isu pendidikan, sosial dan lingkungan.
“Film ini bicara soal bagaimana kita sebaiknya harus menyadari bahwa lingkungan, hutan, hutan tropis di Indonesia harus dijaga keseimbangannya, dan harus dijaga dimensinya. Karena ketika orang-orang Rimba mulai tertekan, dan perubahan terhadap mereka dipaksakan, yang terjadi adalah bencana,” tambah Riri.
Pada pemutaran perdananya, film yang sebagian besar menggunakan bahasa Rimba ini disambut hangat masyarakat Amerika, terbukti dengan ramainya diskusi usai pemutaran antara penonton dan Riri Riza.
Salah seorang penonton, Robin Tatu, mengaku ia belajar banyak dari film dan diskusinya. Ia mengatakan, “Saya senang diskusi tentang apa pentingnya untuk membiarkan orang-orang Rimba untuk tetap menjalankan hidup dengan cara mereka. Dan banyak yang bisa kita pelajari dari mereka. Mereka memiliki tradisi, pengetahuan tentang hutan dan pengetahuan tentang hidup.”
Seorang penonton lain, Julie Sidharta, mengatakan ia semakin terdorong untuk menjadi relawan di Indonesia.
“Saya sebenarnya sudah lama ingin kembali ke Indonesia, mungkin 1-2 bulan setiap tahun dengan maksud untuk menjadi semacam sukarelawan untuk memberikan sesuatu kembali ke Indonesia. Karena saya selalu memberikan kembali ke lingkungan saya disini di Richmond, Virginia dan saya rasa sekarang sudah waktunya untuk kembali ke Indonesia,” ujar Julie.
Film Sokola Rimba diangkat dari pengalaman nyata aktivis pendidikan Butet Manurung yang mengabdikan dirinya mengajar membaca dan berhitung kepada anak-anak Suku Anak Dalam yang tinggal di pedalaman hutan di provinsi Jambi. Pengalamannya telah dituangkan dalam buku berjudul “Sokola Rimba” yang terbit pertama kali pada tahun 2007.
“Setahun pertama di Rimba, aku tidak bisa bahasa mereka. Aku memang suka menulis diari, tapi diari satu tahun pertama aku mengajar di rimba itu panjang. Jadi penuh dengan cerita-cerita yang lucu-lucu, kesalahan-kesalahanku, trouble-troubleku selama di hutan, itu aku tulis semua,” ungkap Butet.
Demikian ujar Butet yang ditemui VOA dua tahun lalu usai meluncurkan bukunya di Amerika. Buku itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dengan judul “The Jungle School”.
Isteri Duta Besar Singapura untuk Amerika, Gouri Minpouri, adalah salah seorang penyunting buku itu. Ia mengatakan, “Kini pesannya akan sampai ke lebih banyak orang. Yaitu tentang orang-orang Rimba yang menghadapi tantangan dalam mengemban tradisi yang telah mereka jalankan ratusan tahun. Pesan tentang perubahan lingkungan yang mereka hadapi dan tantangannya, pesan bahwa mereka perlu dipahami, bahwa mereka perlu pendidikan. Semua orang perlu pendidikan.”
Penyunting buku “The Jungle School” lainnya, Ro King, berharap film yang dibintangi Prisia Nasution dan orang-orang Rimba itu, bisa membantu meningkatkan pemahaman banyak orang akan kebutuhan warga minoritas.
“Kami harap penonton senang dengan filmnya dan terkesan dengan ketulusan anak-anak Rimba, sehingga membuat mereka tertarik membeli bukunya. Karena hasil penjualan bukunya akan digunakan untuk membantu membangun Sokola-sokola lain di Indonesia,” papar Ro King.
Kini ada lima Sokola yang tersebar di Indonesia, termasuk satu Sokola yang baru dibuka di pedalaman Papua.