Gambia hari Rabu (23/2) mengajukan banding ke pengadilan tertinggi PBB untuk menolak upaya hukum Myanmar mengakhiri kasus dugaan genosida oleh negara Asia Tenggara itu terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Gambia membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada 2019, dengan alasan junta Myanmar melanggar konvensi genosida 1948 selama penumpasan 2017 terhadap warga Rohingya. Gambia berpendapat tindakan keras itu sama dengan genosida dan bahwa pengadilan dunia harus meminta pertanggungjawaban Myanmar.
Militer Myanmar melancarkan apa yang disebutnya kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine menyusul serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya. Pasukan keamanan diduga melakukan pemerkosaan massal dan pembunuhan, dan mereka membakar ribuan rumah saat sekitar 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Sebuah misi pencari fakta PBB menyimpulkan bahwa "tindakan genosida" dilakukan selama kampanye itu.
Pengacara Gambia mendesak pengadilan untuk menolak tantangan Myanmar atas kasus tersebut dua hari setelah junta Myanmar menuntut agar kasus itu dibatalkan. Junta Myanmar berargumen bahwa negara Afrika Barat itu “tidak mewakili siapapun” dan tidak memiliki dasar hukum untuk mengajukan kasus tersebut karena kasus tersebut benar-benar dibawa oleh Organisasi Kerjasama Islam dan bahwa Mahkamah Internasional hanya bisa mengadili kasus antar negara.
“Ini adalah perselisihan yang sangat besar antara Gambia dan Myanmar,” kata Jaksa Agung Gambia dan Menteri Kehakiman Dawda Jallow dalam bantahan argumen junta.
Hakim bisa memerlukan waktu berbulan-bulan untuk memutuskan tuntutan Myanmar agar membatalkan kasus tersebut.
Tim hukum Myanmar dipimpin oleh Ko Ko Hlaing, menteri kerja sama internasional. Ia menggantikan pemimpin sipil pro-demokrasi Aung San Suu Kyi setelah digulingkan dalam kudeta militer tahun lalu. [my/jm]