Tak ada yang menyangka bahwa “thobe”, gaun tradisional bersulam untuk perempuan Palestina menjadi simbol politik pop.
Gaun thobe malah makin populer sebagai ekspresi nasionalisme Palestina yang lebih lembut, bersaing dengan hiasan kepala keffiyeh yang dikenakan para pemuda yang melemparkan batu ke arah pemukiman Israel.
Butuh kerja keras berbulan-bulan untuk menyelesaikan baju terusan seperti jubah, yang dihiasi sulaman tangan yang rumit. Beberapa gaun thobe bahkan bisa terjual seharga ribuan dolar. Tekstil-tekstil tradisional itu mengingatkan masa lalu ketika perempuan petani Palestina menyulam untuk mengisi waktu istirahat di sela pekerjaan bertani.
Thobe menjadi terkenal ketika bulan lalu, Rashida Tlaib mengenakan thobe milik ibunya saat dia dilantik sebagai anggota Kongres Amerika Serikat. Tlaib adalah perempuan Palestina pertama yang duduk di Kongres negara adidaya itu. Mengenakan thobe dalam peristiwa bersejarah itu menginspirasi para perempuan di seluruh dunia, terutama di Palestina. Para perempuan Palestina saat itu mencuit foto mereka sedang mengenakan jubah-jubah para leluhur mereka.
“Thobe yang bersejarah menyajikan gambaran Palestina yang murni dan belum tersentuh, sebelum pendudukan,” kata Rachel Dedman, kurator sebuah pameran baru-baru ini di Museum Palestina yang memfokuskan pada evolusi sulaman Palestina. “Thobe lebih terkait dengan sejarah dan warisan daripada politik. Itu yang membuat thobe menjadi simbol yang brilian.”
Sejarah thobe Palestina dimulai sejak awal Abad ke-19, ketika kerajinan sulam hanya dipraktikan di desa-desa.
Gaun-gaun yang kaya hiasan menandai setiap tahapan dalam kehidupan perempuan: awal pubertas, pernikahan, dan menjadi ibu.
Desain thobe berbeda-beda di setiap desa. Jahitan tiga dimensi khusus untuk kelas atas di Betlehem, saku-saku baju yang besar untuk perempuan suku pengembara Bedouin, motif dahan oranye untuk Kota Jaffa yang terkenal dengan kebun buah-buahan, papar Maha Saca, direktur Pusat Warisan Palestina di Bethlehem.
Pola-pola thobe juga mengekspresikan posisi sosial perempuan yang berbeda-beda: merah untuk pengantin, biru untuk para janda, biru dengan jahitan berwarna-warni untuk para janda yang sedang berpikir untuk menikah lagi.
Meski perempuan Arab di kawasan tersebut mengenakan gaun-gaun buatan tangan selama berabad-abad, thobe menjadi ciri khas karakter Palestina, terutama sejak berdirinya Israel pada 1948. Ratusan ribu warga Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah-rumah mereka saat perang pembentukan negara Israel. Banyak yang hanya bisa membawa gaun-gaun mereka saat melarikan diri ke luar Palestina, kata Saca.
Perang itu, yang disebut warga Palestina sebagai “Nakba” atau bencana, turut mengubah makna thobe.
“Tiba-tiba dihadapkan pada perampasan budaya oleh Israel, menyulam menjadi tugas penting,” kata Dedman. “Busana itu diambil dan dipolitisasi.”
Sepanjang pergolakan di kawasan tersebut yang berlangsung sejak saat itu, hingga sekarang setelah pemerintahan Otonomi Palestina diakui secara internasional and solusi dua-negara dengan Israel terus diupayakan, thobe makin populer dan berkembang. Desain-desain thobe merefleksikan banyak peristiwa dalam sejarah Palestina.
Misalnya, pada masa gerakan intifada Palestina yang pertama pada 1980an, thobe dihiasi dengan sulaman senjata api, merpati, dan bunga-bunga. Ketika tentara-tentara Israel menyita bendera Palestina dalam berbagai unjuk rasa, para perempuan menenun motif peta dan warna negara pada baju-baju mereka, menurut pameran museum Palestina.
Sekarang perempuan Palestina dari berbagai kalangan mengenakan thobe untuk menegaskan kebanggaan nasional pada pesta-pesta pernikahan dan acara spesial.
“Ini cara mempertahankan identitas nasional kami,” kata Saca.
Karena kerumitan cara memelihara dan keahlian yang dibutuhkan, thobe tidak bisa menjadi pakaian sehari-hari atau bahkan menjadi pakaian unjuk rasa. Tapi versi thobe yang diproduksi masal dan lebih murah mulai marak.
“Seorang perempuan biasanya punya satu thobe untuk dikenakan dalam berbagai peristiwa sepanjang hidupnya. Baju ini sangat mahal dan tidak praktis,” kata Maysoun Abed, direktur sebuah pameran thobe di Al-Bireh, sebuah kota di Tepi Barat dekat Ramallah. “Tapi permintaan untuk thobe masih tinggi sebagai wujud patriotisme.”
Perempuan muda Palestina, terutama yang tinggal di luar negeri, mengadaptasi gaun leluhur dengan nuansa modern dan trendi. Remaja-remaja putri sekarang lebih suka thobe yang lebih pendek dan tidak banyak sulaman,” kata Rajaa Ghazawneh, seorang desainer thobe di al-Bireh.
Natalie Tahhan, seorang desainer yang tinggal di timur Yerusalem, memproduksi jubah dengan desain gambar digital yang mereplikasi jahitan-jahitan tradisional. “Menyambungkan tradisi dengan hal yang baru dan lebih gaya.”
Thobe milik Tlaib yang sekarang viral membangkitkan semangat di berbagai belahan dunia terhadap gaun. Tlaib, anggota Kongres dari Partai Demokrat mewakili Michigan, menyebut thobe sebagai “penampilan berani tekstil milik warga di negara ini” dan mengatakan thobe membangkitkan kenangan akan desa ibunya di Tepi Barat.
Rashida menjadi model untuk perempuan Palestina di mana saja – seorang perempuan yang bangga dengan identitas nasionalnya dan bisa berprestasi tinggi,” kata Saca.
Tahhan setuju. Katanya “thobe milik Tlaib menyebarkan gambar yang indah tentang Palestina ketika biasanya media hanya menggambarkan peperangan.”
Bagi perempuan Palestina yang lahir di luar negeri, dan para pengungsi yang dilarang mengunjungi tanah leluhur mereka di wilayah yang sekarang menjadi Israel, thobe ada bukti nyata kaitan dengan tanah air dan cara mereka memelihara budaya mereka.
“Gaun-gaun itu adalah tali penghubung kami antara masa lalu dan masa depan,” kata Saca. [ft]