Margaret Pisacano (19 tahun), mahasiswa, biasanya bisa merasakan ketika serangan panik datang, pikirannya mulai kacau, napasnya cepat, dan jantungnya berdetak kencang.
"Seperti ada tornado dan gelombang emosi yang menguasai tubuh dan tidak bisa mengendalikan apa pun," kata Pisacano. "Seperti sama sekali tidak bisa mengendalikan perasaan atau pikiran."
Mahasiswi dari Arizona, yang kuliah di Florida ini, pertama kali didiagnosis menderita gangguan kecemasan, saat duduk di bangku sekolah menengah. Dia merupakan salah satu dari jutaan anggota Generasi Z yang "tertekan", kelompok anak muda yang lahir sekitar tahun 1995 dan 2015, yang saat ini berusia antara 4 dan 24 tahun.
Sebuah laporan yang dirilis oleh American Psychological Association menemukan jumlah remaja yang melaporkan gejala-gejala depresi berat meningkat 52 persen antara tahun 2005 dan 2017 - dari 8,7 persen menjadi 13,2 persen - di kalangan remaja berusia antara 12 dan 17.
Peningkatan ini bahkan lebih tinggi - 63 persen dari 2009 hingga 2017 - di antara orang dewasa muda berusia antara 18 dan 25.
Survei mencermati data dari 611.880 responden usia remaja dan dewasa. Para peneliti tidak menemukan peningkatan serupa pada orang dewasa yang berusia lebih dari 26 tahun.
Saat ini, satu di antara tiga remaja berusia antara 13 hingga 18 tahun, memiliki gangguan kecemasan.
"Saat ini, tingkat kecemasan pada remaja mencapai 31 persen," kata Dr Elena Mikalsen, kepala Bagian Psikologi di Rumah Sakit Anak San Antonio, Texas. "Ini epidemi. Ini merupakan darurat kesehatan mental."
Setiap orang kadang-kadang merasa cemas, tetapi kecemasan itu biasanya bersifat sementara. Namun, untuk orang yang mengalami gangguan kecemasan, perasaan itu tidak hilang dan seiring waktu dapat memburuk, dan dapat memicu sakit kepala, nyeri kronis, masalah perut, penekanan sistem kekebalan tubuh dan gangguan tidur.
Sekolah dan tekanan untuk mendapatkan nilai yang bagus dituding sebagai sumber stress utama bagi banyak anak muda.
"Kami amati, semua kecemasan tersebut langsung muncul, segera setelah tahun ajaran dimulai, hampir bersamaan waktunya, dari minggu pertama sampai akhir tahun ajaran, dan kemudian tidak terlihat sedikit pun pada musim panas (musim liburan sekolah di Amerika-red)," kata Mikalsen. "Yang terparah adalah akhir bulan Mei, ketika semua remaja menerima rapor mereka…mereka menjadi sangat panik. Kami merawat anak-anak dengan berbagai jenis masalah medis, karena setelah menerima rapor, sistem kekebalan tubuh mereka melemah. Tingkat bunuh diri tertinggi pada bulan April dan Mei ketika mereka menghadapi ujian akhir.
The American Psychological Association menemukan hampir 1/3 remaja belasan tahun mengatakan mereka merasa sedih atau tertekan dan kewalahan pada saat stress.
Claire Taylor, (17 tahun) siswa SMA di Massachusetts, didiagnosis menderita kecemasan secara umum beberapa tahun yang lalu, tetapi baru mengalami serangan panik pertamanya ketika mengunjungi perguruan tinggi yang ingin dimasukinya setelah lulus.
"Sepanjang hidup saya, perguruan tinggi adalah tujuan akhir saya... Agak mengejutkan bahwa ternyata perguruan tinggi bukanlah tujuan akhir, dan ada lebih banyak lagi yang harus dilakukan setelah itu," kata Taylor. "Saya tidak yakin kenapa saya ingin kuliah dan saya takut ... saya gemetar, menangis dan tidak bisa menjelaskan apa sebabnya."
Kecemasan terkait perguruan tinggi meningkat, menurut laporan tahun 2017 dari Institut Penelitian Pendidikan Tinggi di UCLA. Lembaga ini mensurvei 8.264 siswa tahun pertama yang masuk di 30 perguruan tinggi dan universitas AS dan menemukan bahwa 39 persen melaporkan sering merasa cemas, tetapi kurang dari setengah dari siswa itu mengatakan mereka mencari konseling pribadi di perguruan tinggi.
Tarek Saoud, 22, mulai menderita serangan panik setelah kuliah dan merasakan tekanan yang meningkat untuk memiliki hidup yang sukses.
"Saya mencoba mengganti jurusan (di perguruan tinggi) beberapa kali, tetapi tidak ada yang saya sukai," katanya. "Ini masalah besar bagi saya ... Di sini, di tempat saya dibesarkan, di Virginia Utara, kami diharapkan menjadi pengusaha, pengacara, dokter, ilmuwan, seperti itulah. Merekalah yang selalu dianggap berhasil."
Sulit sekali mendapatkan jadwal berkonsultasi di pusat kesehatan mental di kampus, menurut Saoud, yang menceritakan upaya bunuh dirinya yang digagalkan oleh temannya yang datang mencarinya.
"Saya sempat berpikir selama beberapa bulan untuk mengakhiri hidup saya … saya seperti sedang duduk di tepi jurang dan berpikir 'Bisa ga saya melakukan ini? Apakah semuanya beres? Apa ada sesuatu yang tidak saya pikirkan dan orang jadi kena masalah gara-gara itu?’ Saya tidak sedih, hanya mempersiapkan diri," katanya.
"Saya merasa gila sendiri," kata Saoud. "Ketika saya merasa cemas, pikiran-pikiran yang sangat irasional terlintas sepanjang waktu. Hal-hal seperti, 'Kamu tidak akan pernah bahagia, banyak hal tidak akan menjadi lebih baik' ... Sangat mudah untuk menutupi masalah dengan pura-pura menjadi orang yang sangat sosial, ramah, suka minum (alkohol) banyak."
Dia keluar kuliah pada tahun kedua, dan kembali ke Virginia Utara, di mana dia akhirnya didiagnosis secara klinis mengalami kecemasan dan depresi.
Ada dua pemicu stress baru yang berdampak pada anak muda akhir-akhir ini. Mikalsen mengatakan lebih banyak pasiennya khawatir tentang penembakan dan latihan menghadapi situasi darurat yang mereka lakukan di kampus mereka.
"Saya telah menjadi psikolog selama hampir dua puluh tahun, dan ini merupakan tahun pertama saya menangani pasien dengan "Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) karena kampus/sekolahnya ditutup dengan alasan keamanan (school lockdowns)," jelasnya. "Dulu, kamu hanya perlu bersembunyi saja dan sekarang bersembunyi saja tidak cukup, jadi sekarang 'harus melawan penembaknya' dan semua orang bilang ‘Saya tidak bisa menyerang siapa pun. Saya takut sekali.' Dalam latihan mereka harus naik ke atas meja-meja dan melemparkan barang-barang dan mereka mempraktekkan latihan tersebut di dalam ruang kelas."
Cara orangtua mereka menggunakan media sosial juga memicu stres bagi sebagian remaja belasan tahun.
“"Orangtua saat ini maunya merekam dan memotret anak-anak mereka pada saat yang kurang tepat. Misalnya ketika anak-anak mereka capek, cemas, bahkan ketika mereka marah," kata Mikalsen. "Tidak ada batasan yang jelas karena kita semua menggunakan media sosial...dan saya rasa hal itu menjadi masalah besar bagi anak-anak, karena informasi mengenai terpapar luas dan bisa dilihat semua orang, dan itu membuat stres dan cemas."
Saoud mengatakan belajar mengungkapkan perasaannya telah membantunya mengendalikan kecemasan, tetapi tidak semua anak muda bisa jujur tentang kesehatan mental mereka.
"Saya pikir tidak banyak teman saya yang tahu, karena saya tidak sering membicarakannya," kata Pisacano, mahasiswa Florida berusia 19 tahun. "Sepertinya mereka tidak ingin mendengar saya membicarakannya. Saya tidak ingin membuat mereka tidak nyaman. Saya tidak merasa tidak nyaman membicarakan masalah kesehatan mental saya, tetapi saya rasa, teman-teman saya akan merasa tidak nyaman kalau saya menderita sakit mental."
Taylor (17 tahun), siswa SMA di Massachusetts, mengatakan sudah bisa menerima kecemasannya. Tetapi dia benar-benar menyesali penyakit mentalnya tersebut membuatnya tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dia nikmati, seperti studi banding ke Spanyol. Ia tidak ikut karena takut terbang.
"Meskipun saya punya banyak teman baik di perjalanan, saya masih terlalu takut," katanya, "Saya berharap kecemasan saya berbentuk lain, atau justru saya tidak perlu cemas, karena itu bisa jadi perjalanan yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan, namun saya menerima inilah saya."
Saoud kini belajar di kampus persiapan dan ingin segera melanjutkan kuliah selama empat tahun. Dia masih menjalani perawatan dan berkonsultasi dengan psikolog. Dia tidak mengatakan sudah 'sembuh,' tapi telah merasakan perbaikan.
"Kadang-kadang saya berpikir, 'Apa arti semua ini?' ... tapi saya kemudian mengingat pencapaian saya, dan tujuan hidup saya, dan saya bersyukur," kata Saoud. "Saya rasa ada harapan. Saya yakin punya banyak potensi untuk masa depan saya." [es/dw]