Sudah menjadi rahasia umum banyaknya kasus ketidakadilan, bahkan kekerasan yang menimpa pekerja rumah tangga; pekerja di sektor informal yang keberadaannya sulit tergantikan. Tetapi hampir tidak ada regulasi yang melindungi pekerja rumah tangga. Padahal jumlahnya mencapai lebih dari lima juta orang. Ironisnya selama 16 tahun lebih Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tak kunjung diloloskan DPR, sehingga semakin menyulitkan upaya perlidungan mereka.
Dalam konferensi pers dan deklarasi “Gerakan 1000 Serbet Untuk Pekerja Rumah Tangga,” yang dilakukan secara virtual, di Jakarta, hari Minggu (4/10), Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyogo, menyerukan DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT, yang menurutnya akan tidak saja akan melindungi, tapi juga menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi para pekerja rumah tangga.
"Kowani yang mewadahi 97 organisasi wanita yang mempunyai anggota yang berjumlah 87 juta perempuan dari seluruh Nusantara memohon kepada DPR untuk segera mengagendakan RUU PPRT dalam sidang paripurna DPR terdekat dan menetapkan RUU PPRT sebagai Undang:-Undang," ujar Giwo, Minggu (4/10) saat deklarasi dan konferensi pers secara daring Gerakan 1.000 Serbet untuk Pekerja Rumah Tangga.
Jumlah pekerja rumah tangga di tanah air diperkirakan mencapai lima juta orang, di mana 84%-nya adalah perempuan. Dari jumlah perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga itu, 14% adalah anak di bawah umur, atau di bawah usia 18 tahun.
Jala PRT Minta DPR Bahas RUU PPRT dalam Rapat Paripurna
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini menyerukan DPR untuk segera membahas RUU tersebut sebagai bentuk inisiatif dan segera mengesahkannya.
"Kami mendesak agar DPR segera membahas RUU PPRT ini dalam rapat paripurna 8 Oktober mendatang," tegas Lita.
Survei Jaminan Sosial Jala PRT tahun 2019 pada 4.296 PRT yang diorganisir di enam kota, sebanyak 89 persen PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta JKN KIS. Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri atau mandiri. Jika sakit dengan berhutang ke majikan, potong gaji.
Tak hanya itu, kurun waktu tiga tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan April 2020, tercatat hampir 1.500 kasus kekerasan pada PRT dilaporkan dengan berbagai bentuk mulai dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual. Kasus kekerasan ini juga termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar.
Komnas Perempuan Sayangkan Lambatnya Penetapan RUU PPRT
Komnas Perempuan menyayangkan lambatnya penetapan RUU PPRT itu. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, Minggu (4/10) mengatakan belum ada kemajuan berarti selama tiga bulan sejak Badan Legislasi DPR menyelesaikan dokumen naskah akademik dan RUU PPRT.
"Tujuh fraksi di DPR sudah menyetujui dan dua fraksi yaitu PDIP dan Golkar masih menolak untuk dibahas lebih jauh. Dukungan dari tujuh fraksi semestinya bisa menjadi dasar kuat bagi Badan Musyawarah DPR untuk mengagendakan pembahasannya di sidang Paripurna DPR", ujar Rini, Minggu (4/10).
Serbet Jadi Lambang Dukungan pada PRT
Dalam konferensi pers hari Minggu, puluhan perempuan dan laki-laki hadir dengan membawa serbet. Ada yang menyelempangkan serbet di bahu dan ada pula yang digunakan sebagai ikat kepala. Mereka meneriakkan yel-yel mendukung regulasi bagi PRT. Serbet sebagai simbol desakan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) pada sidang paripurna pada 8 Oktober mendatang.
Ada beberapa kasus PRT di luar negeri yang menjadi catatan sejarah. Sebut saja kasus Parti Liyani menang melawan majikannya yang tidak lain pejabat di Singapura. Parti bebas dari hukuman 2 tahun 2 bulan setelah upaya banding berhasil dilakukan. Sebuah pengadilan distrik di Singapura sebelumnya menetapkan hukuman pada Parti Liyani. Parti dituduh mencuri berbagai barang milik majikannya, tempat dirinya bekerja selama 10 tahun.
Namun kondisi berbeda dialami Adelina Sau (21), korban perdagangan manusia dari NTT, yang dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga selama sekitar 2 tahun di Malaysia. Selama bekerja ia diduga disiksa, tidak dibayar dan ditelantarkan oleh majikan. Adelina meninggal dunia di rumah sakit di Bukit Mertajam, Penang, Malaysia, pada 11 Februari 2018. Majikan perempuan Adelina, Ambika MA Shan digugat dengan Pasal 302 Hukum Pidana Malaysia yang memuat ancaman hukuman mati setelah diduga menyiksa Adelina. Putusan bebas untuk Ambika Ma Shan, majikan Adelina pada 22 September 2020, di Mahkamah Banding, Putrajaya, Malaysia.
Berbagai kasus yang dialami PRT juga terjadi di dalam negeri. Misalnya, kasus yang dialami Ika Masriati, PRT di Semarang Jawa Tengah. Ika mengalami kekerasan yang diduga dilakukan majikannya. Ika mengalami luka ditubuhnya bekas penganiayaan, termasuk bagian pita suara rusak karena diduga disiksa menenggak air mendidih dan memakan puluhan cabe. Kasus Ika terbongkar April 2020 lalu berkat kecurigaan polisi saat majikan melaporkan Ika dengan tuduhan pencurian ponsel milik majikan. [ys/em]