Gumuk adalah gundukan kecil. Gumuk pasir, dengan demikian adalah gundukan pasir menyerupai bukit kecil. Indonesia memiliki gumuk pasir yang sangat istimewa dan langka. Lokasinya ada di dekat Pantai Parangtritis, DI Yogyakarta. Begitu langkanya, gumuk pasir sejenis hanya ada dua di dunia, di Parangtritis dan Meksiko.
Gumuk pasir dibentuk oleh alam. Sungai membawa pasir ke muara di laut. Pasir yang lembut kemudian terbawa ke tepi pantai, mengering dan terbang terbawa angin. Dalam proses ribuan tahun, pasir yang terbawa angin itu menumpuk dan terbentuklah gumuk. Uniknya, bentuk gumuk pasir bisa berubah menyesuaikan angin. Karena itulah, gumuk pasir dianggap hidup karena bisa berubah bentuk dan berpindah tempat.
Sayangnya, dengan begitu banyak keistimewaan itu, Indonesia belum mampu melestarikan keberadaannya. Wiwin Ambarwulan dari Badan Informasi Geospasial yang mengelola kawasan gumuk pasir menyebut, dalam 40 tahun terakhir ancaman terhadap karya alam ini kian memprihatinkan.
“Pada tahun 1976, gumuk pasir itu masih virgin, masih lestari. Seluruhnya masih putih, tidak ada bangunan, tidak ada tumbuhan. Di 2017, daerah zona inti sudah penuh dengan vegetasi, maupun permukiman. Inilah yang menjadi dasar pemikiran bersama, bagaimana mengembalikan gumuk pasir itu menjadi satu dari gumuk pasir yang unik di dunia,” jelasnya.
Menurut Wiwin, ada banyak faktor merusak gumuk pasir. Penambangan pasir, penanaman vegetasi dari luar habitat, kegiatan wisata seperti taman bunga hingga pembangunan jalan. Kegiatan ekonomi telah merusak kekayaan alam.
Banyak pihak khawatir, termasuk anggota DPR RI Komisi VII yang berkunjung ke Parangtritis Geomaritime Science Park pada Jumat (20/7) dan mendengar paparan Wiwin. Agus Sulistiyono, anggota komisi ini dari daerah pemilihan Yogyakarta mengaku memiliki kenangan tersendiri dengan kawasan itu. Semasa remaja, dia beberapa kali datang dan menikmati keindahan kawasan Parangtritis, termasuk gumuk pasir.
Agus menghitung, jika dalam waktu 40 tahun terakhir kerusakan sudah demikian parah, maka mungkin dalam 20 tahun ke depan gumuk pasir akan benar-benar hilang. Tentu saja, jika tidak dilakukan langkah penyelamatan radikal, baik oleh pemerintah pusat, daerah, maupun perguruan tinggi.
“Yang menghalang-halangi upaya pelestarian itu harus kita hilangkan. Harus ada tindakan radikal terkait dengan upaya menjaga gumuk pasir itu tetap ada dan bisa lestari sampai kapanpun. Kasihan, aset yang luar biasa ini. Toh nanti akan menjadi tempat tujuan wisata juga, tetapi kalau kumuh seperti ini kan tidak menarik. Orang juga tidak akan tertarik untuk datang,” kata Agus Sulistyono.
Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan, pemerintah pusat bisa saja memberi dukungan pendanaan untuk upaya pelestarian gumuk pasir. Tetapi dia meminta komitmen seluruh pihak yang terkait secara maksimal.
“Di NTB, daerah pemilihan saya, ada juga laboratorium semacam ini dan dikelola oleh Universitas Mataram. Tetapi kemudian tidak terurus. Disini sudah sangat baik pengelolaannya. Semoga ke depan bisa lebih baik lagi,” ujar Kurtubi.
DPR juga menekankan perlunya keseimbangan antara bisnis yang terus berkembang dan pelestarian kekayaan alam ini. Gumuk pasir dibuat oleh aktivitas alam tanpa campur tangan manusia. Aktivitas ekonomi yang tidak terarah pelan-pelan akan menghancurkan kawasan itu.
Gumuk pasir Parangtritis memiliki luas total 413 hektar, dan terbagi menjadi tiga zona. Zona inti seluas 141,5 hektar, zona terbatas 95,3 hektar, dan zona penunjang 176,6 hektar.
Tumbuhan, bangunan dan benda apapun di sekitar gumuk pasir sebenarnya tidak boleh ada. Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Prof Muh. Arif Marfa’i yang juga peneliti fenomena alam ini menyebut proses pembentukan gumuk pasir membutuhkan lorong angin. Ini adalah area yang tidak boleh terhalang apapun dari bibir pantai ke arah dalam. Melalui lorong angin inilah, pasir terbang dan kemudian membentuk gundukan.
“Ada lorong angin yang bisa mengakibatkan gumuk pasir tetap aktif. Itu harus diberi tempat. Lorong angin ini masuk dari selatan, kalau di sisi itu vegetasinya rapat, angin tidak akan bisa masuk. Kalau tidak bisa masuk, gumuknya tidak akan bisa berkembang. Aktivitas masyarakat juga harus ditata, agak menjauh, jadi ada pembagian lokasi. Itulah yang disebut penataan. Seni melakukan penataan kawasan seperti itu,” jelas Prof.Muh.Arif Marfa'i.
Arif menekankan penataan sebagai tantangan terbesar mengelola kawasan gumuk pasir. Dalam empat puluh tahun terakhir, perubahan besar terjadi karena aktivitas manusia. Objek dan aktivitas wisata baru muncul, demikian pula pembangunan yang dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah proyek besar pembangunan Jalur Lintas Selatan-Selatan (JLSS). Jalur yang membentang di sepanjang garis pantai selatan Jawa ini akan membuka akses lebih terbuka ke area gumuk pasir. Di sisi lain, pasir juga bisa menjadi gangguan tersendiri bagi pemakai jalan.
“Dari sisi keamanan, di sisi jalan seharusnya dibangun pembatas. Jika tidak, pasir akan masuk ke jalan dan itu berbahaya,” kata Arif. [ns/uh]