Para ahli vulkanologi mengatakan Gunung Agung di Bali memiliki kecenderungan lebih besar untuk meletus.
Namun karena setiap gunung memiliki karakteristiknya tersendiri, para peneliti tidak bisa memprediksikan kapan hal tersebut akan terjadi. Bisa saja meletus tiba-tiba atau tetap berlanjut selama berminggu-minggu pada tingkat aktivitas seismiknya yang mengancam.
Pergerakan lambat dari lempeng tektonik yang membentuk permukaan planet, membawa sejumlah batu besar jauh ke dalam bumi dan kemudian meleleh. Saat magma cair ini naik, tekanan akan semakin meningkat di dalam ruang tertutup di bawah gunung sampai akhirnya meledak.
Jenis magma yang ada di dalam Gunung Agung menjebak lebih banyak gas, yang berpotensi membuat letusan yang lebih besar. Kenaikan volume magma inilah yang menyebabkan getaran atau gempa, telah direkam setiap harinya di sekitar gunung.
“Gunung berapi itu membesar, menyebabkan terbentuknya retakan-retakan kecil dan bumi bergetar," kata David Boutelier, seorang ahli geologi dan ahli teknik lempeng tektonik di Universitas Newcastle Australia kepada kantor berita Associated Press.
Petugas bencana mengatakan bahwa instrumen pengukur getaran mencatat lebih dari 800 gempa vulkanik pada Rabu (27/09). Banyak gempa di minggu lalu cukup kuat dirasakan oleh orang-orang di wilayah sekitarnya.
Berdasarkan teori, aktivitas magma yang meningkat ini bisa berlanjut selama beberapa waktu tanpa letusan. Tetapi sulit untuk memprediksinya, karena setiap gunung berapi memiliki karakternya masing-masing.
"Bisa berlanjut selama beberapa hari ke depan atau berminggu-minggu, tapi letusan juga bisa terjadi kapan saja mengingat kondisinya sangat kritis," kata Gede Swantika, Kepala Vulkanologi di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia.
Heather Handley, seorang pakar ilmu bumi di Macquarie University Sydney, mengatakan letusan terakhir Agung pada tahun 1963 didahului oleh gempa bumi, letusan abu kecil dan aliran lava. "Sulit untuk mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi kali ini," katanya.
Pihak berwenang menaikkan status siaga gunung berapi ke tingkat tertinggi pada 15 September dan mengumumkan zona larangan terbang yang membentang hingga 12 kilometer dari kawah tersebut. Lebih dari 130.000 orang telah mengungsi, termasuk beberapa orang yang tinggal lebih jauh dari wilayah tersebut.
“Kami bisa mengatakan peluang untuk meletus sangat tinggi , di atas 50 persen,” kata Swantika.
Memasuki zona eksklusi akan sangat berisiko.
"Saya tidak akan pergi sekarang. Aktivitasnya terlalu tinggi dan risikonya terlalu besar, " kata Boutelier. Aliran piroklastik, gas panas, abu dan material vulkanik lainnya, akan "membunuh semua orang dalam perjalanannya dalam beberapa detik," tambahnya. [aa/fw]