Organisasi The Rights and Resources Initiative mengatakan, meskipun ada dukungan dari pengadilan, pernyataan kelompok bisnis serta pemerintah, hal itu tetap saja terjadi. Kemunduran itu timbul akibat kekurangan pangan, bahan bakar, air dan kekayaan mineral global yang terus berlanjut.
Jenny Springer, Direktur Kelompok Program-program Global mengatakan, “Fokus utama kami adalah masyarakat suku asli dan lokal di seluruh dunia yang sudah memiliki hak tradisional atau adat sebelum kita - tetapi seringkali hak-hak itu tidak diakui secara hukum oleh pemerintah. Dan kami menyaksikan sejumlah kemajuan dari waktu ke waktu terkait pengakuan hukum atas hak-hak tradisional itu, tetapi penelitian terbaru kami menunjukkan ada kemunduran dalam pengakuan hak-hak itu sejak 2008.”
Laporan itu memperoleh temuan, peraturan kepemilikan lahan yang diloloskan sejak 2008 ternyata “lemah dan hanya mengakui sedikit hak tradisional dibandingkan hukum-hukum sebelumnya.”
Springer mengatakan dalam 20 tahun terakhir, Amerika Selatan memimpin dalam pengakuan hak-hak tanah suku asli di negara-negara berhutan tropis.
Springer menambahkan, “Kini, kira-kira 39 persen hutan di Amerika Selatan, dimiliki atau diperuntukan penggunaannya oleh masyarakat suku asli dan lokal.”
Semakin banyak negara ternyata memiliki kekayaan sumber daya alam, seperti minyak dan mineral. Tetapi Springer mengatakan, hal itu bukan berarti negara itu secara otomatis akan mengeksploitasi kekayaan itu. Dalam beberapa kasus, katanya, sudah ada dampak positif.
The Rights and Resources Initiative melaporkan bahwa “Sedikitnya satu dari setiap tiga hektar yang diberi izin untuk dikembangkan sumber daya alamnya, lokasinya tumpang tindih dengan lahan hunian masyarakat suku asli dan lokal.”
Isu hak-hak atas tanah diperkirakan akan dibahas September mendatang dalam Konferensi Dunia tentang Masyarakat Suku Asli di PBB. Juga dalam konferensi perubahan iklim berikutnya, COP 20, yang akan diselenggarakan Desember di Peru, di mana juga terjadi sengketa hak-hak atas lahan di Amazon timur.
Jenny Springer, Direktur Kelompok Program-program Global mengatakan, “Fokus utama kami adalah masyarakat suku asli dan lokal di seluruh dunia yang sudah memiliki hak tradisional atau adat sebelum kita - tetapi seringkali hak-hak itu tidak diakui secara hukum oleh pemerintah. Dan kami menyaksikan sejumlah kemajuan dari waktu ke waktu terkait pengakuan hukum atas hak-hak tradisional itu, tetapi penelitian terbaru kami menunjukkan ada kemunduran dalam pengakuan hak-hak itu sejak 2008.”
Laporan itu memperoleh temuan, peraturan kepemilikan lahan yang diloloskan sejak 2008 ternyata “lemah dan hanya mengakui sedikit hak tradisional dibandingkan hukum-hukum sebelumnya.”
Springer mengatakan dalam 20 tahun terakhir, Amerika Selatan memimpin dalam pengakuan hak-hak tanah suku asli di negara-negara berhutan tropis.
Springer menambahkan, “Kini, kira-kira 39 persen hutan di Amerika Selatan, dimiliki atau diperuntukan penggunaannya oleh masyarakat suku asli dan lokal.”
Semakin banyak negara ternyata memiliki kekayaan sumber daya alam, seperti minyak dan mineral. Tetapi Springer mengatakan, hal itu bukan berarti negara itu secara otomatis akan mengeksploitasi kekayaan itu. Dalam beberapa kasus, katanya, sudah ada dampak positif.
The Rights and Resources Initiative melaporkan bahwa “Sedikitnya satu dari setiap tiga hektar yang diberi izin untuk dikembangkan sumber daya alamnya, lokasinya tumpang tindih dengan lahan hunian masyarakat suku asli dan lokal.”
Isu hak-hak atas tanah diperkirakan akan dibahas September mendatang dalam Konferensi Dunia tentang Masyarakat Suku Asli di PBB. Juga dalam konferensi perubahan iklim berikutnya, COP 20, yang akan diselenggarakan Desember di Peru, di mana juga terjadi sengketa hak-hak atas lahan di Amazon timur.