Penyelidikan atas bencana ledakan pelabuhan Beirut pada Selasa (12/10), dibekukan untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah dua politisi yang dicari-cari untuk diinterogasi mengajukan keluhan baru terhadap penyelidik utama, Hakim Tarek Bitar.
Penyelidikan itu telah menghadapi hambatan sejak Bitar berusaha menanyai beberapa orang paling berkuasa di Lebanon atas kecurigaan bahwa mereka tahu mengenai bahan kimia itu tetapi tidak melakukan apa pun untuk mencegah bencana itu.
Bitar mendapat tekanan besar dari kelompok-kelompok yang menuduh penyelidikannya bias politik dan melakukan kampanye kotor terhadapnya. Pemimpin gerakan politik Syiah yang kuat dan bersenjata lengkap, Hizbullah, Senin mengatakan mereka ingin Bitar dikeluarkan dari kasus tersebut.
Ledakan 4 Agustus 2020, salah satu ledakan non-nuklir terbesar yang pernah tercatat, menewaskan lebih dari 200 orang dan menghancurkan sebagian besar Beirut.
Politisi senior yang dipanggil untuk diinterogasi telah menolak untuk datang dan tidak diberi surat perintah penangkapan.
Pertemuan dewan pertahanan tertinggi negara itu, yang diketuai oleh Presiden Michel Aoun, Selasa, menolak izin yang diminta hakim itu untuk mengejar Tony Saliba, direktur jenderal keamanan negara, kata sumber resmi.
Penyelidikan itu dihentikan pada akhir September atas dasar pengaduan yang mempertanyakan ketidakberpihakan Bitar. Pengadilan menolak pengaduan itu dengan alasan prosedural, yang memungkinkan Bitar melanjutkan penyelidikannya.
Bitar adalah hakim kedua yang memimpin penyelidikan itu. Fadi Sawan dikeluarkan dari kasus itu pada Februari atas dasar keluhan serupa yang diajukan oleh politisi yang kini menantang Bitar.
"Untuk pertama kalinya, sistem peradilan ingin berfungsi, tetapi menderita di bawah tekanan dan intervensi politik," kata Paul Morcos, pengacara dan profesor hukum internasional. [my/jm]